
KRIMINOLOG Reza Indragiri menilai kasus kepala sekolah (kepsek) di Lebak, Banten, yang menampar siswa karena ketahuan merokok seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi kekerasan semata.
Reza menekankan pentingnya memahami konteks hukum yang lebih luas, yakni posisi rokok sebagai zat adiktif yang diatur ketat dalam undang-undang.
“Ketegasan sekolah-sekolah dalam menangani masalah narkotika dan psikotropika sangat kami acungi jempol. Tapi bagaimana terhadap rokok? Kami mendukung jika sekolah juga punya ketegasan serupa,” ujar Reza kepada Media Indonesia, Selasa (15/10).
Menurutnya, dasar hukum untuk bersikap tegas sudah jelas termaktub dalam Pasal 76J ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal itu melarang siapa pun untuk melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya. "Rokok termasuk dalam kategori zat adiktif lainnya sebagaimana disebut dalam PP 109/2012 dan PP 28/2024,” jelasnya.
Karena itu, Reza menilai rokok harus dipandang setara dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol dalam konteks hukum.
"Keempat barang tersebut sama-sama berimplikasi pidana. Artinya, sekolah dan rumah harus bersih dari potensi pelanggaran pasal 76J ayat (2) itu,” ujarnya.
Dengan pemahaman itu, Reza berpendapat tindakan tamparan yang dilakukan kepala sekolah perlu dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap dijadikannya sekolah sebagai tempat terjadinya pelanggaran hukum.
"Benar, perbuatan guru bisa dipandang sebagai kekerasan terhadap anak. Tapi jika dibandingkan dengan konteks pelanggaran pasal 76J, pantas kiranya guru tersebut jika pun divonis bersalah mendapatkan peringanan hukuman,” katanya.
Reza juga mengingatkan penegak hukum agar tidak berhenti pada sosok kepala sekolah. Ia menilai perlu ditelusuri pihak lain yang mungkin turut menjerumuskan siswa ke dalam perbuatan tersebut.
"Orangtua, keluarga, toko penjual rokok, atau teman-teman si murid merekakah pihak-pihak yang seharusnya juga diganjar pidana itu,” pungkasnya. (Far/P-2)