
KEJAKSAAN menahan dua mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Sumatra Utara (Sumut) atas dugaan korupsi pengelolaan dan penjualan aset PTPN I Regional I seluas 8.077 hektare ke PT Ciputra Land. Masa penahanan pertama dijalani keduanya selama 20 hari di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IA Tanjung Gusta, Medan.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumut Mochamad Jefry mengatakan, dua tersangka itu ialah Askani alias ASK, Kepala Kantor Wilayah BPN Sumut periode 2022–2024 dan Abdul Rahim Lubis alias ARL selaku Kepala Kantor BPN Kabupaten Deli Serdang periode 2023–2025. "Penahanan dilakukan setelah pemeriksaan intensif dan ditemukan dua alat bukti yang cukup," katanya, Rabu (15/10).
Menurut Jefry, hasil penyidikan menunjukkan selama masa jabatan keduanya, dari 2022-2024, mereka diduga menyetujui penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Nusa Dua Propertindo (NDP).
Namun, persetujuan penerbitannya tanpa memenuhi kewajiban menyerahkan minimal 20% lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diubah menjadi HGB kepada negara. "Tindakan itu melanggar ketentuan tata ruang dan merugikan negara," ujarnya.
PT NDP, yang bekerja sama dengan Ciputra Land melalui skema kerja sama operasional (KSO), malah mengembangkan dan menjual lahan tersebut tanpa menyerahkan bagian yang menjadi kewajiban negara.
Revisi tata ruang yang semestinya disertai penyerahan lahan kepada pemerintah justru dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis pengembang kawasan hunian dan perniagaan Citraland.
Dugaan korupsi jual beli aset negara ini menyebabkan potensi kerugian keuangan negara yang kini masih dalam proses audit dan penghitungan oleh tim auditor independen. Kejati Sumut masih terus menelusuri aliran dana dan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.
Jaksa menjerat kedua tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
"Terkait kemungkinan keterlibatan pihak lain, kami masih menunggu hasil pengembangan penyidikan dan akan segera menyampaikan informasi terbaru," pungkas Jefry. (YP/P-2)