
TRAGEDI demi tragedi di jalan raya terus memakan korban. Hanya dalam dua hari, 23 nyawa melayang sia-sia akibat kecelakaan bus di Sumatera Barat dan Purworejo. Jalan raya seolah tak lagi sekadar jalur penghubung antarkota—ia telah menjelma jadi ladang kematian yang dibiarkan tanpa penjagaan.
Di tengah situasi ini, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, sekaligus pengurus MTI Pusat, Djoko Setijowarno, menyuarakan keprihatinan mendalam. Ia mendesak Menteri Perhubungan untuk bangkit dari diam dan segera bertindak.
“Jika Kementerian Perhubungan tidak punya langkah konkret, kecelakaan semacam ini akan terus berulang. Keselamatan tidak bisa menunggu,” tegas Djoko.
Kenyataan pahitnya: banyak program vital keselamatan justru dihentikan. Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk keselamatan transportasi darat telah hilang, dan Direktorat Keselamatan Transportasi Darat yang dulu menjadi garda depan kini lumpuh demi efisiensi anggaran. Sebuah efisiensi yang mahal—dibayar dengan nyawa.
“Kalau memang tidak ada anggaran, jujurlah kepada publik. Tapi jangan jadikan nyawa manusia sebagai korban penghematan fiskal,” lanjut Djoko.
KNKT mencatat, 84% kecelakaan disebabkan oleh gagalnya rem dan kelelahan pengemudi. Ini bukan semata soal kelalaian individu, melainkan hasil dari sistem yang tak melindungi. Pengemudi dibiarkan bekerja tanpa batas jam, tanpa tempat istirahat layak, bahkan tanpa pemeriksaan kesehatan rutin. Kesalahan itu sistemik.
Satu demi satu sistem pengawasan rusak karena tak ada lagi dukungan anggaran. Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) yang semestinya menjadi standar, kini tak berjalan. Rambu jalan pudar, marka jalan menghilang, dan penerangan jalan umum dibiarkan gelap. Kita seolah telah menyerah pada risiko.
“Menhub harus memberikan arahan strategis. Unit-unit teknis keselamatan yang telah mati suri harus dihidupkan kembali,” tegas Djoko.
Indonesia sedang dalam darurat keselamatan transportasi. Ini bukan sekadar statistik kecelakaan—ini adalah potret kegagalan negara melindungi warganya di jalan.