Keajaiban Menghargai Tamu

1 month ago 17
Keajaiban Menghargai Tamu Nasaruddin Umar Menteri Agama; Imam Besar Masjid Istiqlal(MI/Seno)

NABI Ibrahim AS tidak mau makan sendirian. Jika tidak ada tamu yang menemaninya, ia pergi ke pasar mencari orang yang mau diajak makan bersama. Nabi Muhammad SAW menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu, tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan agama.

Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan sebagaimana ditegaskan Rasulullah, “Akrim al-dhaif walau kana kafiran," (muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir).

Dalam kitab-kitab hadis ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu nonmuslim berjumlah 60 orang. Sebanyak 14 orang di antara mereka berasal dari kelompok Kristen Najran. Rombongan tamu dipimpin oleh Abdul Masih. Mereka diterima di masjid dengan penuh persahabatan.

Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab Al-Shirat al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, Juz II, h 426-428, ketika rombongan tamu itu melakukan kebaktian di masjid dengan menghadap ke arah timur, Rasulullah tetap memuliakan mereka.

Rasulullah tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial. Suatu ketika Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semiprimitif. Tiba-tiba tamu ini beranjak ke sudut masjid, lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Akan tetapi, Rasulullah menahan mereka dan memerintahkan agar kencing sang tamu ditimbun dengan pasir.

Bahkan pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tidak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar. Salah seorang sahabat segera menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tetapi ditahan Rasulullah dengan mengatakan, “Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya di sini.”

Sang tamu menyadari bahwa dirinya seorang penjahat dan telah melakukan bermacam dosa dan maksiat. Ia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu di masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah.

Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan tersebut. Akhirnya kasus ini menyebabkan turunnya QS Hud/11:114: “Innal hasanat yudzhibna al-sayyi’at,” (Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapuskan dosa-dosa/perbuatan buruk).

Dalam kasus lain, ketika Rasulullah SAW sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum). Rasulullah berpaling dari tamu itu demi menghargai pembesar Quraisy. Peristiwa itu menjadi sebab turunnya QS ‘Abasa/80:1-2: “Abasa watawalla, ‘an jaahul a’ma,” (Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya), sebagai teguran.

Kita sebagai umatnya selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu. Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita, bahkan para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit. Wallahu a’lam.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |