
SERATUS hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), banjir serta rusaknya habitat satwa terus terjadi. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menilai Abdul Wahid-SF Hariyanto, lebih banyak lakukan kegiatan seremoni dibanding aksi nyata dalam upaya pemulihan lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) di Riau.
“Kami belum melihat kerja nyata untuk perbaikan tata kelola LHK selama 100 hari, baik dalam tindakan maupun rencana pembangunannya. Padahal dalam visi-misi saat maju, Abdul Wahid mencantumkan isu ekologis,” kata Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, Minggu (8/6).
Pada 2 Juni 2025, Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyampaikan rencana program 100 hari kerja. Ada tujuh sektor yang digesa: akses dan layanan pendidikan, akses dan layanan kesehatan, dukungan peningkatan pengamalan keagamaan, ketahanan pangan daerah, layanan infrastruktur dasar dan konektivitas daerah, layanan publik, dan pembangunan daerah.
Pada 3 Juni 2025, melalui akun Instagramnya, Abdul Wahid juga memamerkan capaian 100 hari kerja, salah satunya keberhasilan menjaga hutan dengan sinergi karhutla bersama TNI dan Polri.
Pada 27 Maret 2025, Abdul Wahid, bersama SF Hariyanto dan Kapolda Riau Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, memimpin acara penanaman sepuluh ribu pohon di Bandara Pinang Kampai. Acara yang diselenggarakan oleh Polda Riau dengan tema “Melindungi Tuah, Menjaga Marwah”.
Pada 25-27 April 2025, Gubernur Riau bekerja sama dengan Polda Riau menyelenggarakan Jambore Karhutla 2025. Abdul Wahid mengklaim bahwa Jambore Karhutla sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Tujuannya agar lebih peduli terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan, serta lebih peduli terhadap alam.
Pada 28 April 2025, Abdul Wahid, menyampaikan bahwa status siaga karhutla telah ditetapkan sejak 1 April 2025. Hal ini sebagai langkah antisipasi dini berdasarkan informasi dari BMKG yang memprediksi musim kemarau akan tiba lebih awal dibandingkan biasanya.
Pada 8 Mei 2025, Gubernur Riau mendeklarasikan program GREEN (Growing Resilience through Emissions Reductions, Community Empowerment and Ecosystem Restoration for a Nurturing Future) for Riau atau Riau Hijau. Tujuannya sebagai upaya strategis untuk menekan dan menurunkan emisi gas rumah kaca di Bumi Lancang Kuning. Abdul Wahid menyampaikan hal emisi gas rumah kaca kita tekan dan turunkan supaya lingkungan sehat, ketersediaan oksigen semakin bagus. Kita berkomitmen tinggi untuk menyediakan lingkungan yang terbaik dan sehat dan juga menjaga alam.
“Klaim capaian dan kebijakan 100 hari Gubernur Riau khususnya pada isu lingkungan masih bersifat seremonial. Misalnya dalam hal pengendalian karhutla, Abdul Wahid masih berfokus pada kegiatan yang sifatnya seremoni, seperti Jambore Karhutla dan penetapan status siaga darurat karhutla. Alih-alih mereview izin korporasi di areal gambut, mengaudit sarpras pencegahan karhutla korporasi. Begitu juga Green for Riau, kita belum melihat konsepnya ke depan,” kata Okto.
Okto mengungkapkan, masyarakat Sipil Riau telah menyerahkan brief berjudul “Ruang Ekologis Riau Semakin Rusak”. Brief berisi fakta persoalan yang terjadi di Riau: El Nino dan karhutla Riau, analisis hotspot hingga deforestasi, banjir, konflik satwa, lambannya realisasi perhutanan sosial, illegal logging, konflik sosial masyarakat dengan perusahaan, pengakuan hak masyarakat adat, minimnya partisipasi publik, penegakan hukum kasus SDA Riau, dan pemberantasan korupsi SDA. Harapannya di awal kepemimpinan Abdul Wahid-SF Hariyanto, berani untuk memimpin untuk memperbaiki dan menyelesaikan persoalan LHK tersebut.
“Persoalan ekologis masih terjadi berulang di Riau yang disebabkan akibat rusaknya ruang ekologis di Riau. Karhutla, banjir, illegal logging, konflik lahan serta konflik satwa dan manusia merupakan dampak dari eksistensi perizinan berusaha HTI dan sawit yang tidak taat aturan dan abai dengan kondisi lingkungan,” ujar Okto.
Menurutnya, 100 hari kerja Abdul Wahid-SF Haryanto masih jauh dari harapan pemulihan ekologis. “Kami mendorong Gubernur Riau untuk mengevaluasi kinerja 100 hari kerja dan serius mengimplementasikan visi ekologis dengan tindakan dan program kerja yang nyata untuk menghentikan bencana ekologis, termasuk menghentikan rencana pengembangan KIBB” jelas Okto.
Oleh sebab itu, lanjut Okto, Jikalahari merekomendasikan Gubernur Riau untuk mereview izin korporasi di areal gambut, mengaudit sarpras pencegahan karhutla korporasi.
'Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan penataan perizinan kehutanan berupa review perizinan korporasi yang beroperasi di atas lahan gambut, lahan masyarakat hukum adat – tempatan, serta korporasi yang tidak memiliki kemampuan dalam menjaga areal konsesinya dari kerusakan baik karhutla maupun perambahan," kata Okto.
Kemudian, sambungnya, mempercepat penyelesaian konflik antara masyarakat adat – tempatan dengan korporasi, konflik satwa yang telah kehilangan habitatnya karena ekspansi korporasi yang merusak habitat satwa, serta mempercepat izin dan pengelolaan PS.
"Membuka ruang partisipatif bagi masyarakat sipil, akademisi dan masyarakat luas dalam Menyusun rencana pembangunan Provinsi Riau," pungkasnya.(RK)
Images