
GELOMBANG berita dan konten negatif tidak hanya menciptakan keresahan sosial, tetapi juga dapat menyentuh ranah psikologis individu secara mendalam.
Psikolog klinis dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Pamela Andari Priyudha menyebut paparan terhadap berita-berita buruk secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang mengalami ketegangan psikologis yang kronis dan kolektif.
“Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness yaitu kondisi di mana merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang. Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustasi, dan depresi secara kolektif,” jelas Pamela seperti dilansir dari laman resmi UGM, Sabtu (24/5)/
Dalam situasi seperti ini, literasi digital menjadi hal yang penting. Dalam hal ini adalah kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan etis. Pasalnya banyak orang terjebak dalam kesimpulan yang prematur hanya dengan membaca judul atau komentar tanpa menelusuri informasi secara utuh.
“Saat tubuh terus merasa waspada karena paparan berita buruk, kecemasan akan meningkat. Ini adalah bentuk alarm tubuh yang bisa menjadi maladaptif jika tidak dikendalikan,” katanya.
Menurutnya, kemampuan seseorang dalam meregulasi atau mengelola emosi sangat berperan penting dalam menentukan seberapa besar dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh berita buruk terhadap kesehatan mental mereka.
“Saya kira penting bagi individu, institusi pendidikan, serta komunitas sosial untuk secara aktif memberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi,” jelasnya.
Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang lebih resilien dan siap secara psikologis dalam menghadapi tekanan informasi di era digital yang serba cepat ini.
Selanjutnya, salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk menjaga kesehatan mental di tengah paparan berita negatif yang masif adalah dengan secara sadar membatasi konsumsi informasi yang bersifat memicu kecemasan. Terutama ketika individu berada dalam kondisi psikologis yang kurang stabil.
Selain itu, penting untuk membangun kebiasaan mencari informasi pembanding dari berbagai sumber yang kredibel guna mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif dan seimbang. Pamela menyarankan agar masyarakat tidak langsung bereaksi terhadap informasi yang belum terverifikasi.
“Penting untuk mengedepankan logika dan bersikap objektif. Selalu cari tahu dari berbagai sumber, jangan hanya mengandalkan satu sudut pandang,” imbaunya.
Kemudia, menghindari topik-topik yang secara emosional mengganggu, seperti konflik politik atau isu sosial yang memancing reaksi emosional berlebihan, juga dapat menjadi langkah preventif.
Di sisi lain, individu disarankan untuk secara aktif mengonsumsi konten-konten yang bersifat positif, inspiratif, atau membangun. Hal itu guna membantu menjaga suasana hati tetap stabil dan mendorong pola pikir yang lebih optimis dalam menghadapi dinamika kehidupan sehari-hari.
Salah satu teknik psikologis yang bisa diterapkan untuk tetap optimis adalah dengan self-control atau kontrol diri. Masyarakat harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat dikendalikan dan yang berada di luar kendalinya.
“Fokus pada peran dan tanggung jawab yang bisa dijalankan akan membantu menjaga semangat dan rasa optimisme,” pungkasnya. (H-2)