
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Djonieri membeberkan beberapa faktor yang menyebabkan indsutri asuransi syariah di Indonesia tidak berkembang. Faktor pertama adalah pricing produk asuransi syariah yang kurang kompetitif.
"Prinsip Law of Big Numbers sulit diterapkan karena pangsa pasar asuransi syariah kecil, sehingga distribusi risiko kurang optimal dan biaya klaim per peserta lebih tinggi dibandingkan asuransi konvensional," ucap Djonieri di Jakarta, Senin (17/3).
Faktor kedua adalah terbatasnya kapasitas dari asuransi syariah. Ia mengungkapkan, keterbatasan modal dan dukungan reasuransi syariah membuat asuransi syariah sulit menanggung risiko besar seperti proteksi kredit dan asuransi perumahan. "Sehingga masih bergantung pada reasuransi konvensional yang berpotensi menimbulkan tantangan kepatuhan syariah," sebutnya.
Faktor ketiga, perbedaan opini Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Tantangan konsep tafrik dalam keuangan syariah muncul karena banyak produk masih bercampur dengan unsur konvensional. Ini memicu perbedaan opini DPS akibat ketiadaan standar yang seragam dalam menafsirkan batas toleransi pencampuran tersebut," ungkapnya.
Faktor keempat, lembaga jasa keuangan syariah yang masih menggunakan asuransi konvensional. Meski demikian, ia mengungkapkan bahwa OJK telah melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan ekosistem asuransi syariah.
"Kegiatan yang sudah dilakukan antara lain adalah kajian dan publikasi, training of trainer (TOT), training of coach (TOC) dan sinergi dengan universitas seperti Universitas Tadulako Palu serta penyusunan program kerja Masterplan Ekonomi Syariah," pungkasnya. (E-3))