
KETUA Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Subandi menuturkan, para importir mengalami kerugian akibat kemacetan parah yang terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis (17/4). Para importir harus menanggung biaya tambahan penumpukan barang di kontainer.
Subandi menjelaskan larangan mobilitas angkutan barang yang berlaku pada 24 Maret hingga 8 April 2025 menyebabkan bongkar muat di pelabuhan menumpuk dan mengakibatkan pengiriman barang ke gudang-gudang pun terhambat. Sementara banyak gudang importir berada di wilayah-wilayah yang terdampak aturan tersebut.
Selain itu, kemacetan pasca libur Lebaran turut memperparah situasi. Banyak kendaraan pengangkut tidak dapat memasuki terminal peti kemas pada hari kejadian dan baru bisa masuk keesokan harinya.
"Akibatnya, importir harus menanggung biaya tambahan penumpukan sekitar Rp500 ribu per kontainer. Ini jumlah yang besar," ujar Subandi kepada Media Indonesia, Sabtu (19/4).
Dia membeberkan biaya pengeluaran kontainer selama masa libur Lebaran mengalami lonjakan signifikan, di antaranya biaya transportasi naik hingga 1,5 kali lipat ditambah biaya kawalan mobil.
Kerugian importir tersebut belum termasuk dampak lanjutan, seperti keterlambatan pasokan bahan baku ke pabrik, yang mengganggu proses produksi. Lalu, tidak terpenuhinya komitmen pengiriman tepat waktu yang bisa merusak reputasi bisnis.
Penyebab lain dari kemacetan parah di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, menurut Subandi, adalah kebijakan Kementerian Perhubungan yang dinilai tidak efektif. Kebijakan tersebut mewajibkan peti kemas yang telah tertimbun lebih dari tiga hari untuk segera dipindahkan dari terminal utama. Namun, Subandi menuding banyak terminal yang justru membiarkan peti kemas tetap berada di area terminal utama, sehingga memperburuk kondisi lalu lintas di pelabuhan.
Terminal utama tersebut antara lain Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Petikemas Koja (TPK), New Priok Container Terminal One (NPCT1), terminal milik Mustika Alam Lestari. Lalu, Indonesia Port Corporation (IPC) Terminal Petikemas, anak perusahaan dari Pelindo.
"Hal ini menimbulkan kesan adanya pembiaran agar terminal memperoleh keuntungan lebih besar dari biaya penumpukan kontainer yang tertahan," tudingnya.
Kondisi semakin diperparah di terminal NPCT1 yang dikatakan tidak memiliki buffer area atau daerah penyangga. Akibatnya, truk pengangkut kontainer harus langsung mengakses jalan umum di luar terminal yang menyebabkan antrean panjang.
"Truk-truk pengangkut peti kemas jalur merah dari NPCT1 ke area Multi Terminal Indonesia (PT MTI) pun menggunakan akses pintu yang sama dengan jalur keluar-masuk kontainer umum, sehingga memperburuk kemacetan," pungkas Subandi. (Ins)