IJTI, AJI dan PFI Tolak Program Pemerintah 1.000 Rumah Subsidi untuk Jurnalis

3 days ago 8
IJTI, AJI dan PFI Tolak Program Pemerintah 1.000 Rumah Subsidi untuk Jurnalis Ilustrasi perumahan subsidi.(MI/Mitha Meinansi)

KETUA Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan mengkritisi program rencana kerja sama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menyalurkan 1.000 rumah subsidi dan layak huni bagi jurnalis terhitung mulai 6 Mei 2025.

Menurut Herik, jurnalis sebagai warga negara memang membutuhkan rumah. Namun bukan hanya jurnalis, melainkan semua warga negara apapun profesinya membutuhkan rumah. Karena itu persyaratan kredit rumah harus berlaku untuk semua warga negara tanpa harus membedakan profesinya. "Pemerintah mesti fokus bagaimana persyaratan kredit rumah terjangkau semua lapisan masyarakat," kata Herik Kurniawan, Selasa (15/4).

Menurutnya, IJTI mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas perhatian kepada jurnalis, tetapi berharap pemerintah bisa membantu pers dengan berbagai regulasi yang bisa membangun ekosistem media dengan baik.

Herik menyarankan Dewan Pers tidak perlu terlibat dalam program tersebut. Karena Dewan Pers mandatnya lebih fokus pada jurnalistik, sementara program rumah subsidi untuk jurnalis tidak terkait langsung dengan pers. "Tidak perlu ada campur tangan Dewan Pers. Karena bukan mandat Dewan Pers untuk mengurusi perumahan,” ujar Herik.

Karena itu, IJTI bersama dua organisasi pers lainnya, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) menolak rencana program pemerintah memberikan kredit rumah bersubsidi bagi jurnalis.

Ketua Umum AJI, Nany Afrida menyatakan, jurnalis memang membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Namun sebaiknya para jurnalis memperoleh program kredit rumah bersubsidi lewat jalur normal, bersama-sama dengan warga negara yang lain. Rumah merupakan kebutuhan pokok yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ia menyebut, jika jurnalis mendapatkan rumah dari Komdigi, tidak bisa dielakkan kesan publik bahwa jurnalis sudah tidak kritis lagi. "Maka sebaiknya program ini dihentikan saja, biarlah teman-teman mendapatkan kredit lewat jalur normal seperti lewat Tapera atau bank," sebut Nany.

Menurutnya, jika pemerintah mau memperbaiki kesejahteraan jurnalis, seharusnya memastikan perusahaan media menjalankan UU Tenaga Kerja. “Termasuk memastikan upah minimum jurnalis, memperbaiki ekosistem media dan menghormati kerja-kerja jurnalis,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum PFI,  Reno Esnir, memberi jalur khusus kepada jurnalis untuk mendapatkan program rumah bersubsidi, akan
memberi kesan buruk pada profesi jurnalis, seolah patut diistimewakan. Padahal, golongan profesi lain harus memperebutkan program rumah bersubsidi ini lewat jalur normal.

"Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya," tandas Reno.

Ia meyakini jika upah jurnalis sudah layak, maka kredit rumah dengan mudah dapat dipenuhi. "Jurnalis termasuk fotografer, membutuhkan jaminan kebebasan dan keamanan ketika melakukan liputan. Karena itu sebaiknya program pemerintah fokus pada jaminan keamanan saat jurnalis meliput," sebut Reno.

Ketiga organisasi pers tersebut menilai, akan lebih baik jika pemerintah fokus pada pengadaan rumah yang terjangkau oleh warga negara dan target 3 juta rumah benar terpenuhi.

Meskipun Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan program tersebut merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan jurnalis, bukan alat politik atau upaya meredam kritik, jurnalis mendapatkan keistimewaan atau jalur khusus untuk memperoleh program kredit rumah ini. Padahal program ini tidak ada hubungannya dengan tugas pers atau jurnalistik.

Selain bersama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Komdigi, program tersebut juga kerja sama dengan BPS, Tapera dan  BTN dengan menggunakan skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan).

FLPP sebenarnya bisa diakses oleh siapa saja, warga negara yang memenuhi persyaratan, diantaranya belum memiliki rumah, penghasilan maksimal 7 juta (lajang) atau 8 juta (mereka yang berkeluarga). Bunganya ditetapkan 5% fix dan uang muka 1% dari harga rumah. (E-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |