
MENJELANG Hari Buaya Sedunia setiap 17 Juni, isu konservasi buaya kembali menjadi sorotan, terutama karena maraknya kemunculan buaya di kawasan permukiman.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Genetika Ekologi IPB University Prof Ronny Rachman Noor menyatakan peristiwa tersebut erat kaitannya dengan terganggunya habitat alami buaya akibat ekspansi permukiman manusia.
"Buaya merupakan hewan teritorial yang membutuhkan area luas, khususnya untuk pejantan dominan dengan beberapa betina. Saat musim kawin, buaya jantan menjadi sangat agresif, dan mereka juga memerlukan ruang luas untuk berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup serta berkembang biak," jelas Prof Ronny.
Menurutnya, ketika wilayah jelajah buaya menyempit akibat alih fungsi lahan dan pembangunan permukiman, buaya cenderung masuk ke lingkungan manusia untuk mencari makan.
MI/HO--Pakar Genetika Ekologi IPB University Prof Ronny Rachman Noor
"Dalam kondisi ini, buaya akan menyusuri area baru, termasuk permukiman, karena wilayah aslinya tidak lagi mencukupi untuk bertahan hidup," lanjutnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi masyarakat bahwa buaya tidak dapat disalahkan ketika masuk ke lingkungan penduduk, justru manusia perlu memahami dan menghormati ruang hidup satwa liar.
Sebagai contoh hidup berdampingan, Prof Ronny mengangkat pengalaman Australia yang berhasil mengelola populasi buaya liar.
Di negara tersebut, wilayah konservasi dijaga dengan ketat dan wisata edukatif dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman publik.
"Ketika manusia dapat hidup berdampingan dengan alam liar, maka akan tercipta keharmonisan yang membuat Bumi ini menjadi lestari," tuturnya.
Pendekatan seperti ini, sebutnya, menunjukkan bahwa konservasi tidak hanya soal perlindungan satwa, tetapi juga soal membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Tindakan Tepat saat Menemukan Buaya
Ketika masyarakat menemukan buaya di lingkungan mereka, Prof Ronny menekankan hal pertama yang harus dilakukan adalah melapor kepada pihak berwenang. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak menyakiti atau mencoba mengusir buaya dengan cara yang tidak tepat.
"Buaya yang masuk ke permukiman terjadi karena habitatnya terganggu. Maka dari itu, penanganan harus dilakukan secara hati-hati dan profesional. Buaya juga makhluk hidup yang mudah mengalami stres jika ditangani secara kasar," tegasnya.
Ia menambahkan buaya yang tidak ditangkap dan hanya diusir berisiko kembali datang.
"Buaya memiliki insting kuat terhadap keberadaan makanan, sehingga jika tidak dipindahkan ke habitat baru yang aman, kemungkinan besar mereka akan kembali ke lokasi sebelumnya," ujarnya.
Edukasi Publik tentang Satwa Liar
Terkait praktik memelihara buaya dan satwa liar lainnya, Prof Ronny menegaskan satwa liar bukanlah hewan peliharaan. Memelihara satwa liar tanpa memperhatikan kebutuhan lingkungan alaminya hanya akan menyebabkan stres, gangguan reproduksi, bahkan kematian pada hewan tersebut.
"Satwa liar sebaiknya dinikmati keberadaannya di alam bebas, bukan dimiliki secara pribadi. Jika memang perlu dibudidayakan, harus memperhatikan kebutuhan ekologis dan kesejahteraan satwa tersebut agar perilaku alaminya tetap terjaga," ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa upaya konservasi harus berjalan seiring dengan edukasi publik agar masyarakat memahami risiko dan dampak negatif dari perdagangan serta pemeliharaan ilegal satwa liar, terutama spesies predator seperti buaya muara. (Z-1)