
European Space Agency (ESA) mengeluarkan citra pertama dari misi luar angkasa Proba-3 pada Minggu (15/6). Misi ini terdiri dari dua satelit yang bekerja sama menciptakan "gerhana matahari buatan" di luar angkasa. Hasil awalnya? Spektakuler—terutama bagi para pemburu gerhana dan ilmuwan yang ingin mengungkap misteri korona matahari.
Formasi Satelit yang Meniru Gerhana Alam
Diluncurkan pada 5 Desember 2024 dengan roket PSLV-XL dari India, Proba-3 adalah misi pertama yang menggunakan dua satelit dalam formasi presisi. Satu satelit berfungsi sebagai penghalang (occulter) yang memblokir cahaya Matahari, sementara satelit lainnya—dilengkapi teleskop—merekam korona, atmosfer luar Matahari yang selama ini sulit diamati.
Biasanya, korona hanya bisa dilihat saat gerhana total—yang sangat jarang terjadi di lokasi tertentu (sekitar sekali dalam 366 tahun menurut NASA). Proba-3 menghilangkan kebutuhan akan "lokasi beruntung" dengan menciptakan gerhana setiap 19,6 jam sekali dalam orbitnya.
Menguak Misteri Panas Ekstrem Korona
Korona merupakan wilayah panas ekstrem di atmosfer luar Matahari, dengan suhu mencapai dua juta derajat Fahrenheit—sekitar 200 kali lebih panas dibanding permukaan Matahari (photosphere). Inilah wilayah asal angin matahari, yang dapat memengaruhi sistem kelistrikan dan komunikasi di Bumi.
"Korona bukan hanya pemandangan menakjubkan, tapi juga laboratorium alami untuk fisika plasma," kata Andrei Zhukov, ilmuwan utama instrumen ASPIICS, di Konferensi Gerhana Matahari di Leuven, Belgia.
Salah satu temuan awal yang menarik adalah keberhasilan Proba-3 menangkap struktur ‘prominence’—awan plasma dingin yang muncul di tepi Matahari. Meski suhu prominence ini mencapai 10.000°C, masih jauh lebih rendah dibanding lingkungan sekitarnya yang menyala-nyala.
Mengapa Perlu Coronagraph?
Korona sangat redup dibanding cakram Matahari yang jutaan kali lebih terang. Karena itu, pengamatan korona sangat sulit tanpa gerhana atau alat khusus seperti coronagraph—instrumen yang memblokir cahaya langsung Matahari.
Namun coronagraph di Bumi punya keterbatasan karena atmosfer menyebarkan cahaya. "Proba-3 adalah coronagraph terbaik yang pernah ada karena berada di luar angkasa dan bisa mengamati hingga ke tepi Matahari," kata Jorge Amaya dari ESA.
Penerbangan Formasi dengan Presisi Ekstrem
Pada Maret lalu, kedua satelit Proba-3 berhasil membentuk formasi sejauh 150 meter dengan presisi hingga milimeter tanpa intervensi dari Bumi. Penghalang seluas 1,4 meter memproyeksikan bayangan selebar 8 cm ke teleskop yang menangkap korona.
Pencapaian ini dilakukan sepenuhnya secara otonom—sesuai dengan nama misi Proba yang merupakan singkatan dari Project for Onboard Autonomy.
"Presisi ini luar biasa dan menunjukkan betapa jauh teknologi kita telah berkembang," kata Dietmar Pilz, Direktur Teknologi ESA.
Data Gerhana untuk Semua
Setiap citra yang dihasilkan berasal dari tiga eksposur berbeda dan dikombinasikan untuk menghasilkan tampilan penuh korona. "Gambar-gambar ini setara dengan hasil dari gerhana alam, tapi bisa kami ciptakan secara berkala," ujar Zhukov.
Selama dua tahun misinya, Proba-3 diperkirakan menghasilkan sekitar 1.000 jam rekaman korona. Semua data akan tersedia secara terbuka. "Siapa pun bisa mengakses data mentahnya dan mengkalibrasi sendiri," imbuh Zhukov.
Bukan Pertama, Tapi yang Paling Sukses
Percobaan serupa sebenarnya pernah dilakukan pada 1975 dalam misi gabungan Apollo-Soyuz oleh AS dan Uni Soviet. Saat itu, astronot mengambil foto korona secara manual melalui jendela Soyuz, tapi hasilnya kurang memuaskan.
Kini, dengan Proba-3, impian untuk menciptakan gerhana total buatan dengan kualitas ilmiah tinggi akhirnya tercapai—tanpa perlu menunggu puluhan tahun atau menempuh ribuan kilometer.
Akan berhenti kah pemburu gerhana karena ini? Tidak sama sekali. Tapi kini, para ilmuwan punya alat yang bisa membawa mereka lebih dekat ke Matahari — kapan saja mereka mau. (Space/Z-2)