
KEBIJAKAN tarif resiprokal yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyebabkan dunia terancam perang dagang. Ekonom Universitas Gadjah Mada, Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D., menyebutkan, pemerintah Indonesia perlu melakukan menerapkan strategi yang tepat untuk merespon hal tersebut.
"Respons optimal Indonesia yang dapat dilakukan dengan menerapkan strategi campuran antara diplomasi ekonomi, diversifikasi, dan dukungan domestik," terang dia melalui keterangan resmi yang diterima Media Indonesia, Kamis (10/4). Indonesia dapat memilih jalur diplomatik, menghindari retaliasi, dengan revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) untuk membahas hambatan perdagangan.
Deregulasi non-tariff measures (NTMs), seperti relaksasi persyaratan kandungan lokal untuk perusahaan ICT AS (GE, Apple, Oracle, Microsoft) berpotensi untuk menawarkan insentif fiskal seperti pemotongan bea masuk, pajak penghasilan, dan PPN, menjadi insentif bagi perusahaan-perusahaan AS.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan diversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, Eropa, Timur Tengah, dan bergabung dalam CPTPP atau BRICS, mengurangi ketergantungan pada AS, sesuai strategi exit option dalam game theory. "Dukungan ke industri terdampak melalui insentif pajak dan pelatihan ulang, serta stimulus fiskal untuk dorong konsumsi dalam negeri, stabilkan ekonomi domestik," tambahnya.
Apa Bentuk Strateginya?
Edhi melanjutkan, kolaborasi dengan Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 juga dibutuhkan untuk respons kolektif terhadap tantangan perdagangan global akibat kebijakan tarif Trump itu. Kolaborasi ini juga demi mencari alternatif kerja sama ekonomi, mengingat penurunan indeks pasar global seperti FTSE 100 dan Nikkei 225.
Negara-negara dunia sebaiknya fokus pada peningkatan perdagangan di antara mereka, terutama di sektor layanan, yang relevan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor barang ke AS.
Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini dengan memperkuat sektor digital dan layanan yang kurang terkena dampak tarif AS dan mencari perjanjian dagang baru seperti CPTPP untuk memperluas akses pasar.
“Dari perspektif game, hal ini adalah permainan berulang (repeated game) di mana Indonesia perlu memilih strategi campuran antara kooperasi (diplomasi ekonomi) dan kompetisi (diversifikasi)," terang dia.
Negosiasi dapat membantu mencapai ekuilibrium yang lebih menguntungkan, sementara diversifikasi adalah strategi minimax untuk mengurangi risiko jika negosiasi menghadapi jalan buntu,”urainya.
Demikian pula, jika AS menggunakan tarif sebagai langkah awal Tariff Chaos untuk me-leverage negosiasi, diikuti oleh tarif resiprokal dan "Mar-a-Lago Accord" untuk penyesuaian mata uang. Edhie Purnawan mengimbau pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan diri secermat mungkin, terutama melalui Bank Indonesia.
Langkah tersebut ditujukan untuk mengendalikan volatilitas mata uang dan mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan bersama Indonesia-AS, seperti penyediaan bahan baku atau investasi, dan dalam rangka konsesi tarif dan menyelamatkan porsi perekonomian yang lebih besar.
Respon atas Sikap Tenang Indonesia
Di tengah berbagai tekanan, pemerintah Indonesia terkesan tenang dalam merespon kebijakan ini. Menanggapi hal itu, Edhie Purnawan menyatakan sikap diam pemerintah Indonesia bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari strategi yang matang. Ketika Presiden tampil tenang di tengah guncangan geopolitik, ia tidak sedang pasif, melainkan menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit terbaca oleh lawan.
“Dengan selisih kekuatan ekonomi yang tak seimbang, dimana Amerika Serikat berada pada puncak piramida global dengan PDB USD 27,7 triliun, sementara Indonesia masih di angka USD 1,4 triliun (2023), maka setiap langkah yang terlalu cepat justru berisiko menjebak kita dalam permainan untuk kalah. Maka, ketenangan justru adalah bentuk perlawanan: menolak terpancing masuk ke medan konfrontasi yang dirancang oleh lawan,” urainya.
Lebih dari sekadar kalkulasi diplomasi, lanjutnya, strategi ini juga mencerminkan kehati-hatian makro-struktural. Trump, sebagai aktor yang anti-ortodoks yang enggan membuka jalur negosiasi kecuali dipancing dengan tawaran besar, tak dapat dihadapi dengan pendekatan konvensional. Indonesia harus membangun daya tahan dari dalam, mempersiapkan kemungkinan disrupsi rantai pasok, penurunan pesanan ekspor, dan tekanan terhadap sektor padat karya yang bisa terdampak di kuartal III 2025 jika tidak tidak diantisipasi secara cepat.
Boleh Lamban, Asal...
Kebijakan yang tampak lamban di permukaan ini sesungguhnya membuka ruang strategik: memperkuat sektor-sektor domestik, mengalihkan orientasi pasar ekspor, menyempurnakan peraturan teknis non-tarif, dan membangun kemitraan alternatif di kawasan. Di saat pasar global bergejolak, indeks FTSE 100 dan Nikkei 225 ambrol, volatilitas meningkat, maka Indonesia wajib menjaga diri dari ikut larut dalam pusaran retaliasi yang tidak produktif.
Untuk menjaga kepercayaan publik dan pelaku di sektor jasa keuangan, Edhie Purnawan mengatakan pemerintah perlu menggunakan framework signaling dalam game dengan informasi yang tidak lengkap (a signaling framework in games with incomplete information). Komunikasi terbuka, menyampaikan rencana seperti diplomasi aktif melalui TIFA, deregulasi NTMs, dan peningkatan impor dari AS, menunjukkan kontrol situasi perlu dilakukan.
Selain itu, mempelajari dengan cepat peluang seperti pangsa pasar untuk pakaian dan alas kaki, serta potensi besar dari relokasi investasi. Kebijakan stabilisasi nilai tukar menggunakan DHE, menjawab kritik USTR soal retention rigidities, menunjukkan fleksibilitas dan kekuatan Indonesia.
Koordinasi dengan ASEAN dan negara besar lain untuk aksi kolektif, mengurangi tekanan isolasi, menggunakan data untuk menunjukkan dampak minimal, seperti tarif Indonesia ke AS rendah (0–5%), sangat diperlukan untuk menekankan kesetaraan. “Dalam konteks pasar global yang bergejolak, pemerintah juga perlu menjelaskan bagaimana Indonesia bersiap menghadapi tantangan eksternal, termasuk volatilitas indeks seperti S&P 500 dan Dow Jones,” pungkasnya. (M-1)