
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaksanakan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di Provinsi Riau selama tujuh hari, mulai 1 hingga 7 Mei 2025. Operasi ini dilakukan sebagai upaya mitigasi terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang rawan terjadi di wilayah gambut Riau saat memasuki musim kemarau.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa tujuan OMC adalah mempercepat turunnya hujan untuk membasahi dan menjaga kelembapan lahan gambut. Hal ini penting karena lahan gambut yang mengering sangat mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
“Bahkan tanpa aktivitas pembakaran, lahan gambut tetap berpotensi terbakar karena angin kencang dan gesekan ranting saat musim kemarau. Karena itu, mitigasi harus dilakukan sebelum munculnya api,” kata Dwikorita, Selasa (6/5).
Saat ini, kata dia, sebanyak 10 kabupaten/kota di Riau telah menetapkan status siaga darurat Karhutla, menyusul munculnya 144 titik panas (hotspot) dan terbakarnya 81 hektare lahan. OMC ditujukan untuk mencegah perluasan kebakaran dengan membasahi area gambut secara menyeluruh dan merata.
Hingga 4 Mei 2025, OMC telah dilakukan sebanyak empat sorti penyemaian awan dengan total 3,2 ton bahan semai berupa garam (NaCl). Total waktu terbang mencapai 8 jam 33 menit, menyasar awan-awan potensial yang mampu menghasilkan hujan.
Dwikorita menerangkan, wilayah target OMC difokuskan pada pesisir timur bagian utara dan selatan Provinsi Riau, yang merupakan area dengan sejarah kebakaran tinggi. Tujuannya adalah mengisi kembali kubah air dalam tanah gambut agar tidak mudah mengering dan terbakar saat musim kemarau berlangsung.
Berdasarkan sistem early warning BMKG, musim kemarau di Indonesia, termasuk Riau, telah dimulai sejak April dan diprediksi mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus 2025. Provinsi Riau sendiri mengalami dua kali musim kemarau dalam setahun, yakni Februari–Maret dan Mei–September, sehingga berisiko menghadapi Karhutla dengan frekuensi lebih tinggi dibanding wilayah lain.
“Potensi kekeringan dan Karhutla pada Mei hingga September 2025 diperkirakan meningkat akibat anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan wilayah barat Indonesia. Karena itu, diperlukan intervensi melalui OMC untuk menjaga kelembapan gambut dan mencegah kebakaran sebelum musim kemarau mencapai puncaknya,” jelas Dwikorita.
Sementara itu, Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto, menyampaikan bahwa sejak 2015, paradigma OMC telah berubah dari sekadar respons pemadaman menjadi langkah mitigasi dan pencegahan dini. Strategi ini terbukti efektif. Data menunjukkan, jumlah hotspot nasional menurun tajam dari 8.168 titik pada 2019 menjadi hanya 499 titik pada 2023 — turun sebesar 93,9 persen. Begitu pula dengan luas lahan terbakar yang turun dari 90.550 hektare menjadi 7.267 hektare dalam periode yang sama.
“Dengan kondisi cuaca yang masih relatif mendukung pembentukan awan hujan, OMC diharapkan mampu menekan jumlah hotspot dan mengurangi risiko kebakaran gambut yang biasa terjadi pada pertengahan hingga akhir musim kemarau,” kata Seto.
Seto menambahkan bahwa pelaksanaan OMC di Riau merupakan hasil kolaborasi antara BMKG, BNPB, TNI Angkatan Udara, operator swasta, dan sejumlah pemangku kepentingan. Operasi ini menggunakan pesawat Cessna Caravan 208B yang telah dimodifikasi khusus untuk penyemaian awan.
Selama pelaksanaan, BMKG terus melakukan pemantauan cuaca dan dinamika atmosfer secara harian. Data ini menjadi dasar penentuan waktu dan lokasi penyemaian yang tepat, efisien, dan berbasis sains.(H-1)