
PELAKSANAAN Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan beberapa bulan di sejumlah sekolah banyak menuai sorotan publik. Mulai dari kasus makanan yang sudah basi, ditemukan belatung dan menyebabkan keracunan siswa hingga vendor penyedia makanan yang belum dibayar oleh penyelenggara.
Terlepas dari pro dan kontra pada pelaksanaan program ini, pakar Gizi pengajar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Toto Sudargo, mengatakan program MBG ini sebenarnya layak didukung dan inilai memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah stunting atau tengkes jika dilaksanakan dengan tepat sasaran dan profesional.
Meski masih ada kekurangan, Toto menjelaskan salah satu kunci efektivitas MBG adalah penargetan yang spesifik kepada kelompok yang paling membutuhkan seperti ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, dan remaja putri.
Ia menekankan pentingnya memberikan gizi yang cukup bagi remaja putri agar kelak menjadi ibu yang sehat dan tidak anemia. “Kalau remaja putri bisa ditargetkan di sekolah, sedangkan untuk kelompok ibu hamil dan menyusui bisa melalui kerja sama dengan posyandu,” ujarnya.
Dikatakan MBG harus menyumbang minimal sepertiga dari kebutuhan gizi harian, terutama protein sebagai faktor pertumbuhan utama. “Protein adalah growth factor. Itu yang paling utama karena selama ini yang tercukupi hanya karbohidrat,” jelasnya.
Ia mengingatkan keberhasilan program ini tidak hanya tergantung pada jumlah makanan yang diberikan, tetapi juga kualitas dan daya terima anak-anak terhadap makanan tersebut. “MBG itu jangan melihat volumenya, tapi kualitasnya. Sedikit tapi habis lebih baik daripada banyak tapi sisa,” katanya.
Untuk menyiasati kebiasaan makan anak-anak yang cenderung pemilih, Dr. Toto menyarankan agar menu MBG dibuat menarik dan sesuai tren. “Buat yang kecil-kecil tapi enak. Misalnya bola-bola daging atau makanan kekinian lainnya yang disukai anak-anak,” sarannya.
Agar program ini efektif, Dr. Toto menekankan pentingnya melibatkan ahli gizi dalam setiap lini perencanaan dan pelaksanaan. Selain itu, ia juga mendorong pendekatan desentralisasi hingga ke tingkat desa agar pengawasan dan pelaksanaan lebih optimal.
“Jangan menggunakan orang yang bukan ahli gizi karena tidak tahu bagaimana menyusun menu dari bahan mentah sampai ke mulut konsumen,” tegasnya.
Toto juga menyampaikan harapan besarnya terhadap masa depan program MBG. “Mimpi saya, insya Allah ini bisa terus dievaluasi dan disempurnakan. Jangan langsung dicaci, tapi beri waktu setahun, dua tahun. Jika konsisten, kita bisa menyiapkan generasi yang sehat,” pungkasnya. (H-2)