Bekerja di Usia Senja: Pilihan atau Keterpaksaan?

2 hours ago 1
 Pilihan atau Keterpaksaan? Irvansyah Utoh Banja, Praktisi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan(BPJS)

“Development consists of the removal of various types of unfreedoms that leave people with little choice and little opportunity of exercising their reasoned agency.” — Amartya Sen, Development as Freedom (1999)

Pukul enam pagi di sebuah pasar tradisional di Yogyakarta, Ibu Siti (68) sudah menata sayuran di lapak kecilnya. Tangannya cekatan, meski tubuh sering terasa letih. Sehari-hari ia berangkat sebelum subuh dan pulang menjelang sore. Penghasilannya tidak seberapa, hanya cukup untuk kebutuhan harian.

“Saya tidak bisa berhenti. Kalau berhenti, siapa yang akan membiayai makan saya?” katanya pelan. Ia tidak memiliki tabungan, apalagi pensiun. Bagi Ibu Siti, bekerja di usia senja bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan.

Kisah serupa mudah ditemui di banyak tempat. Lansia Indonesia memang masih bekerja, tetapi sebagian besar tanpa perlindungan, tanpa kepastian, dan tanpa kebebasan untuk memilih.

Menua tanpa jaminan

Indonesia sedang bergerak cepat menuju masyarakat menua. Pada 2020, proporsi penduduk berusia 65 tahun ke atas baru 6,7 persen. Namun, dalam tiga dekade jumlah itu diperkirakan melonjak dua kali lipat, mencapai lebih dari 56 juta orang pada 2050.

Meski jumlah lansia bertambah, perlindungan sosial masih terbatas. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang menerima manfaat pensiun. Data menunjukkan lebih dari separuh warga berusia di atas 60 tahun tetap aktif bekerja, tetapi hanya sebagian kecil yang berada di sektor formal dengan jaminan ketenagakerjaan. Mayoritas besar bekerja di sektor informal: berdagang kecil, menjadi pekerja lepas, atau buruh harian.

Bagi mereka, berhenti bekerja bukanlah pilihan. Pendapatan rendah, akses kesehatan terbatas, dan ketiadaan tabungan membuat usia tua justru identik dengan kerentanan. Dalam kerangka Amartya Sen, ini bukan “freedom to work”, melainkan keterpaksaan akibat hilangnya kebebasan memilih.

Diskriminasi yang tak terlihat

Tantangan lain adalah diskriminasi usia. Iklan lowongan kerja dengan batas umur maksimal masih lazim ditemui. Pemerintah memang mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan penghapusan syarat usia, tetapi sifatnya hanya imbauan. Tanpa aturan yang mengikat dan mekanisme pengawasan yang jelas, diskriminasi semacam ini akan terus terjadi, baik dalam rekrutmen, promosi, maupun akses pelatihan.

Stigma terhadap pekerja lansia juga membuat mereka kerap dianggap kurang produktif, meski pengalaman mereka justru bisa menjadi modal penting. Akibatnya, lansia lebih sering diposisikan sebagai beban ketimbang aset.
Kekhawatiran bahwa pekerja lanjut usia “merebut” peluang anak muda pun tidak terbukti. Banyak penelitian menunjukkan partisipasi lansia di pasar kerja justru bisa berjalan seiring dengan peningkatan kesempatan kerja generasi muda. Pasar kerja inklusif membuka ruang saling melengkapi, bukan persaingan.

Apa arti pekerjaan ramah usia

Istilah “pekerjaan ramah usia” sering muncul dalam wacana kebijakan, tetapi kerap berhenti sebagai slogan. Padahal, yang dibutuhkan adalah restrukturisasi nyata dalam dunia kerja.

Fleksibilitas menjadi kunci. Lansia membutuhkan bentuk kerja yang menyesuaikan kondisi fisik, seperti kerja paruh waktu, pensiun bertahap, atau bahkan kerja jarak jauh. Di sisi lain, pembelajaran sepanjang hayat harus dibuka bagi mereka yang berusia di atas 50 tahun. Lansia jauh lebih jarang ikut pelatihan, padahal keterampilan baru—baik literasi digital, jasa, maupun vokasi—menentukan kemampuan mereka bertahan di pasar kerja.

Desain pekerjaan pun perlu berubah. Banyak pekerjaan masih bergantung pada tenaga fisik, padahal teknologi dan penyesuaian ergonomi bisa memperpanjang masa produktif. Tanpa inovasi ini, lansia hanya akan ditempatkan pada pekerjaan kasar yang melelahkan.

Selain itu, perusahaan perlu diberi insentif agar mau mempertahankan pekerja lansia. Negara bisa memberikan keringanan pajak, subsidi iuran jaminan sosial, atau penghargaan bagi perusahaan yang inklusif. Sementara itu, lembaga publik dan BUMN seharusnya menjadi contoh dengan meniadakan batas usia rekrutmen.

Perlindungan sosial juga harus diperluas. Saat ini, hanya sekitar 17 persen rumah tangga lansia yang menerima pensiun. Tanpa jaminan ini, banyak lansia terpaksa tetap bekerja meski tubuh melemah. Inklusi keuangan pun perlu diperkuat. Batas usia dalam akses kredit membuat banyak wirausaha lansia kehilangan kesempatan mengembangkan usaha, padahal pengalaman mereka adalah modal berharga.

Terakhir, perlu ada pengakuan bahwa tempat kerja multigenerasi adalah kekuatan. Lansia membawa pengalaman dan kearifan, sementara generasi muda menghadirkan keterampilan baru, terutama di bidang teknologi. Kolaborasi lintas usia bisa menjadi keunggulan produktif bila dikelola dengan baik.

Titik balik

Tanpa reformasi serius, Indonesia menghadapi risiko meningkatnya kemiskinan lansia, beban keluarga yang makin berat, dan tekanan fiskal yang besar. Ironinya, generasi yang membangun pertumbuhan ekonomi nasional justru akan menua dalam kondisi rapuh.

Namun, jika pasar kerja diarahkan lebih ramah usia, manfaatnya jelas. Produktivitas tetap terjaga, masa kerja bisa diperpanjang dengan layak, dan pengetahuan lintas generasi bisa diwariskan. Di sinilah pentingnya memandang usia panjang bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang. Pekerjaan ramah usia bukanlah amal, melainkan prasyarat keadilan dan keberlanjutan pembangunan. Seperti dikatakan Amartya Sen, pembangunan sejati adalah memperluas kebebasan nyata.

Di Indonesia, kebebasan itu masih terbatas bagi pekerja lanjut usia. Jika reformasi dilakukan, mereka akan tetap bekerja karena memilih, bukan karena terpaksa. Namun jika gagal, Indonesia berisiko menua sebagai negara miskin dengan warga tua yang miskin pula. Sebaliknya, bila berhasil, usia panjang dapat menjadi sumber kekuatan, bukan krisis. 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |