Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 Angkat Bicara soal Pernyataan Fadli Zon

6 hours ago 2
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 Angkat Bicara soal Pernyataan Fadli Zon Menteri Kebudayaan Fadli Zon.(Dok. Antara)

MENTERI Kebudayaan, Fadli Zon, sudah menanggapi perihal pernyataannya yang kontroversial. Dalam pernyataan resminya itu dia menyatakan bahwa data pemerkosaan massal Mei 1998 tidak pernah konklusif.

Menanggapi hal itu, Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan konferensi pers dalam waktu dekat untuk menanggapi pernyataan dari Fadli Zon, khususnya mengenai data temuan kasus Pemerkosaan Mei 1998.

“Besok akan ada konpers tentang masalah ini, di mana saya juga akan berbicara. Nanti saya infokan ya,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Senin (16/6).

Secara terpisah, Komisioner Komnas Perempuan, Rr Sri Agustini, mengingatkan bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.

“Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998,” ujar Sri Agustini.

Tim TPGF ini dibentuk sebagai mandat resmi negara melalui Keputusan Bersama lima pejabat tinggi negara yakni Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung tertanggal 23 Juli 1998.

Pembentukan ini merupakan pelaksanaan langsung atas perintah Presiden, menjadikan TGPF sebagai instrumen legal dan sah Pemerintah untuk mengungkap fakta-fakta dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat.

Salah satu rekomendasi TGPF telah ditindaklanjuti yaitu pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM untuk dugaan pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998 yang telah menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

“Dengan demikian, dokumen TGPF adalah produk resmi negara. Oleh karenanya, Menteri Kebudayaan dalam hal ini Bapak Fadli Zon, harus mencabut statemennya dan meminta maaf kepada penyintas / korban kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menegaskan bahwa selain tidak punya empati terhadap korban, Fadli Zon yang lahir dan tumbuh serta dikenal luas sejak lama sebagai pendukung dan pembela Orde Baru, juga berhalusinasi, mengarang bebas, dan bertentangan dengan pernyataan resmi negara sebelumnya, melalui Presiden RI BJ Habibie, Penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman, Investigasi dan Temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta berbagai studi ilmiah yang dilakukan oleh para intektual serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.

"Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka," tegas Hendardi.

Dia pun mengomentari perihal proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia yang dikatakan sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kehendak dan kepentingan politik rezim.  

Menurut Hendardi, publik tentu masih mencatat dengan sangat baik bahwa sejarah perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan kelahiran Pancasila dan tragedi 1965, pernah diupayakan untuk direkayasa dan dibelokkan rezim Orde Baru melalui penulisan sejarah versi rezim yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto.

"Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi, dan muslihat alias ngawur," jelas Hendardi.

Bukan Otoritas Kementerian Kebudayaan

Secara substantif, Kementerian Kebudayaan dikatakan tidak memiliki otoritas untuk menentukan narasi sejarah perjalanan bangsa. Kalaupun pemerintah memiliki niat baik untuk menyusun buku sejarah demi kepentingan pembelajaran, seharusnya itu dikoordinasikan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, entah itu Kemendikdasmen atau Kemendiktisaintek.

"Dari sisi waktu, juga bukannya terburu-terburu melaksanakan proyek ini secara tergesa-gesa? Tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kemendesakan dan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah ini mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025. Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang,” tuturnya.

Oleh karena itu, kata Hendardi, pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa.

Dia merasa butuh dialog panjang, mendalam, dan inklusif terkait dengan fakta sejarah yang harus diakomodasi dalam buku pembelajaran sejarah. Pada saat yang sama, pemerintah harus menunjukkan itikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, alih-alih secara instan dan represif menulis ulang sejarah sesuai dengan selera rezim. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |