
ADA fakta lain dari kekayaan alam Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ternyata selain eksotisnya panorama dan keindahan lautnya, ada juga flora unik yang tumbuh di daratannya.
Anggrek biru (Dendrobium azureum Schuit), salah satunya. Anggrek jenis ini ternyata spesies langka dan endemik karena hanya ditemukan di Cagar Al.Pulau Waigeo, Raja Ampat.
Ahli Konservasi Tumbuhan IPB University, Dr Agus Hikmat, mengatakan bahwa dari sisi botani dan konservasi, anggrek biru Waigeo memiliki nilai yang sangat tinggi.
“Anggrek biru ini begitu istimewa karena hanya ditemukan di Pulau Waigeo, tidak ada di tempat lain di dunia,” ungkapnya melalui siaran persnya.
Spesies ini secara global telah dikategorikan atau statusmya sebagai endangered atau terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List.
Namun, secara hukum di Indonesia, Dendrobium azureum belum termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Meskipun belum dilindungi secara hukum di tingkat nasional, Dr Agus mengingatkan bahwa perhatian dan langkah perlindungan dari berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan.
“Sebagai spesies endemik dengan status terancam punah, anggrek biru membutuhkan perlindungan serius agar kelangsungan hidupnya tetap terjaga,” kata dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University ini.
Lebih lanjut, Agus juga mengulas ancaman terhadap habitat alami anggrek biru. Ia menyebutkan bahwa deforestasi dan perburuan untuk perdagangan menjadi faktor utama yang membahayakan keberadaan tanaman ini.
Mengenai kegiatan pertambangan di Raja Ampat, Agus menyampaikan bahwa meski tidak langsung merusak habitat anggrek biru dalam jangka pendek, dampaknya bisa terasa dalam jangka panjang.
“Kerusakan yang terjadi di pulau-pulau sekitar akibat pertambangan dapat mengancam habitat di Pulau Waigeo, apalagi dengan pengaruh arus laut yang kuat,” jelasnya.
Agus menyarankan agar kegiatan pertambangan di kawasan Raja Ampat dihindari untuk menjaga keanekaragaman hayati yang unik di wilayah tersebut, baik di darat maupun laut.
Sebagai alternatif, ia mengusulkan pemanfaatan kekayaan alam Raja Ampat untuk kegiatan ekowisata yang ramah lingkungan.
“Pemanfaatan kawasan Raja Ampat sebaiknya diarahkan untuk kegiatan wisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan alam ini bisa memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat dalam jangka panjang,” ucapnya. (H-2)