
INDUSTRI film Indonesia tengah mengalami transformasi besar lewat keberanian para produser yang tidak hanya memproduksi tontonan, tetapi juga mengusung misi perubahan. Tiga nama menonjol—Angga Dwimas Sasongko, Linda Gozali, dan Mira Lesmana—mendorong batas genre konvensional untuk membawa perfilman nasional ke level baru: lebih inklusif, lintas usia, lintas budaya, dan kompetitif secara global.
Angga Dwimas Sasongko: Misi Sosial di Balik Lompatan Animasi Anak
Sebagai CEO Visinema dan produser film Jumbo, Angga Dwimas Sasongko masuk ke dunia animasi bukan karena tren, melainkan karena keprihatinan. Dengan hanya 21% anak Indonesia mengakses pendidikan usia dini, ia melihat film sebagai sarana penguatan literasi sejak dini.
“Kami sadar dunia anak dan keluarga di film masih minim eksplorasi. Maka kami ambil risiko besar di animasi—dan hasilnya mulai terlihat dengan sambutan terhadap Jumbo,” ujarnya di Jakarta (11/6).
Baginya, animasi bukan sekadar bentuk visual, tapi pertaruhan strategis. Jika berhasil, film anak Indonesia bisa punya ekosistemnya sendiri—yang selama ini dikuasai impor.
Linda Gozali: Horor sebagai Diplomasi Budaya Lewat Qodrat 2
Linda Gozali, yang menggarap Qodrat 2, memulai perjalanannya dari ketidaktahuan terhadap genre horor. Tapi justru itu yang membuat pendekatannya unik: ia menonton 40 film horor untuk memahami ritmenya.
“Saya sadar banyak film horor kita belum memanfaatkan nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa jadi kekuatan. Qodrat membawa itu—nilai Islam yang hangat dan berbeda dari horor Barat,” jelasnya.
Misi Linda adalah menjangkau pasar internasional lewat kearifan lokal. Bahkan ketika sulit mendapatkan dukungan investor, ia membuktikan keseriusannya dengan menyutradarai adegan pembuka sebelum pandemi, sebagai bentuk komitmen.
Mira Lesmana: Menghidupkan Kembali Musikal yang Terpinggirkan
Genre musikal adalah ‘anak tiri’ di industri film Indonesia. Tapi bagi Mira Lesmana, ini justru lahan yang layak diperjuangkan. Film terbarunya, Rangga & Cinta, melanjutkan jejak Petualangan Sherina yang ia produksi lebih dari dua dekade lalu.
“Musikal itu darah saya. Tapi tantangannya besar—dari sisi produksi hingga penerimaan pasar. Tapi saya percaya penonton haus akan sesuatu yang berbeda,” ungkapnya.
Mira membangun film ini dengan aktor baru yang multitalenta: bisa bernyanyi, menari, dan berakting. Ia melihat gelombang minat baru pada musikal lewat panggung seperti Laskar Pelangi dan Keluarga Cemara sebagai sinyal bahwa waktunya genre ini kembali.
Industri yang Bersatu: Harapan dari APROFI
Edwin, Presiden APROFI, menggarisbawahi pentingnya sinergi lintas pihak—pemerintah, komunitas kreatif, dan mitra global—dalam memperkuat narasi perfilman Indonesia.
“Kami melihat lonjakan pertumbuhan industri film yang sangat signifikan. Mari jaga momentum ini bersama,” tegasnya. (Z-10)