Vonis Ringan TNI Bunuh Pelajar, LBH Laporkan Hakim ke KY dan Bawas MA

4 hours ago 5

Medan, CNN Indonesia --

Putusan majelis hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang menghukum 10 bulan penjara terdakwa Sertu Riza Pahlivi berbuntut panjang.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan melaporkan majelis hakim yang menyidangkan kasus itu ke Komisi Yudisial RI dan Bawas Mahkamah Agung RI.

Direktur LBH Medan Irvan Saputra mengatakan pihaknya melaporkan Letkol ZS sebagai hakim ketua, Mayor IZ dan Mayor HW masing-masing sebagai hakim anggota dalam perkara register No: 67-K/PM.I-02/AD/VI/2025 pada 20 Oktober 2025.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Majelis hakim menghukum terdakwa Sertu Riza Pahlivi dengan hukuman 10 bulan penjara dalam kasus menganiaya pelajar MHS (15) hingga meninggal dunia. Putusan majelis hakim justru melukai rasa keadilan Lenny Damanik yang merupakan ibu kandung MHS," ujar Irvan, Senin (10/11).

Dalam persidangan, majelis hakim menyatakan terdakwa Sertu Riza Pahlivi secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kealpaan/kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain.

"Pasca-mendengar putusan hakim, Lenny Damanik ibu korban tak kuasa menahan tangis. Lenny juga tidak mendapatkan keadilan untuk kedua kalinya dikarenakan putusan hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang sangat ringan, bahkan lebih ringan dari maling ayam," tegasnya.

Irvan menilai adanya kejanggalan dalam putusan majelis hakim. Ketika majelis hakim dalam pertimbangan menyatakan tidak ditemukan jejak atau bekas luka pada tubuh korban. Padahal korban meninggal dunia akibat mendapatkan penganiayaan yang dilakukan oleh Sertu Riza Pahlivi.

"Padahal tertuang dalam putusan jejak tersebut ditemukan di bagian perut korban dan terdapat luka di kening korban diakibatkan jatuhnya korban dari rel ke bawah jembatan yang tingginya sekitar 2 meter," katanya.

Kejanggalan putusan, tambah Irvan, semakin jelas ketika pertimbangan hukum lainnya menyatakan jika terdakwa tidak melakukan penyerangan terhadap korban.

Padahal menurut keterangan dari Saksi atas nama Ismail Syahputra Tampubolon melihat langsung ketika korban diserang dan terjatuh di sela rel.

"Keterangan Ismail selaras dengan keterangan saksi Naura Panjaitan yang mengatakan jika ada terjadi pemukulan yang mengakibatkan seorang anak terjatuh di bawah rel. Namun dikarenakan Naura Panjaitan meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan," paparnya.

Secara hukum kejanggalan kasus MHS terlihat jelas ketika Sertu Riza Pahlivi tidak ditahan sejak proses penyidikan dan penuntutan. Padahal perbuatan terdakwa telah menyebabkan kematian anak di bawah umur.

"Tidak hanya itu, secara terang benderang hukum telah dipermainkan ketika Oditur Militer melalui Letkol M Tecki Waskito, SH,MH yang seharusnya memperjuangkan keadilan terhadap korban hanya menuntut terdakwa 1 tahun penjara," katanya.

Tuntutan Oditur Militer, lanjutnya, sangat tidak sebanding dengan perbuatan Terdakwa. Bahkan tuntutnya sangat jauh dari ancaman hukuman 15 Tahun Penjara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 76 c jo 80 Ayat (3) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

"Menyikapi hal tersebut LBH Medan sebagai lembaga yang fokus terhadap penegakan hukum dan HAM sekaligus kuasa hukum ibu korban menduga majelis hakim yang menangani perkara MHS melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor: 04/KMA/SKB/IV/2000 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim," terangnya.

Atas adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka LBH Medan membuat pengaduan ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI.

"Putusan sangat ringan itu diduga melanggar prinsip-prinsip berprilaku adil, arif dan bijaksana dan profesional. Berkaca dari putusan kasus MHS dan beberapa kasus- kasus lainya yang tidak memberikan keadilan, maka sudah sepatutnya secara hukum LBH Medan mendesak Mahkamah Agung untuk mencopot Kepala Pengadilan Militer I-02 Medan," ujarnya.

LBH Medan menduga tindakan terdakwa telah melanggar Pasal 76c jo Pasal 80 Ayat (3) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tidak hanya itu perbuatan tindakan terdakwa telah bertentangan dengan UUD 1945, KUHPidana, UU HAM, DUHAM dan ICCPR, CRC tentang konvensi hak atas anak.

Kematian MHS (15 Tahun) di Jalan Pelikan Ujung, Perumnas Mandala, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara menyisakan kejanggalan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menduga korban tewas usai mendapatkan penganiayaan dari anggota TNI saat terjadinya tawuran antara kelompok remaja.

Kejadian bermula saat korban sedang duduk-duduk dekat jembatan rel kereta api (antara Tembung dengan Perumnas) dan melihat adanya tawuran antar kelompok remaja pada 24 Mei 2024. Tawuran tersebut lantas ditertibkan oleh Babinkamtibmas, Babinsa dan Satpol PP. Sehingga menyebabkan kerumunan tawuran berlari ke arah korban.

Sertu Riza Pahlivi menangkap dan memukul bagian leher korban hingga korban terjatuh ke bawah jembatan di rel kereta api. Akibat pukulan tersebut kepala korban berdarah. Bahkan saat korban mau naik ke jembatan, Sertu Riza Pahlivi mencengkeram baju korban dan melemparkannya ke arah rel seraya melakukan penganiayaan terhadap korban hingga menyebabkan luka lebam di dada, tangan dan kaki korban. Korban meninggal dunia akibat mendapatkan penganiayaan tersebut.

(fnr/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |