Volatilitas Industri Energi Hijau

5 hours ago 4
Volatilitas Industri Energi Hijau (MI/Seno)

MENCERMATI perkembangan kinerja beberapa perusahaan energi hijau di Amerika Serikat (AS) khususnya dapat menjadi sinyal kuat bagi para investor dan/atau calon investor di Tanah Air bahwa prospek usaha ekonomi hijau ini tergolong cepat-sirna (volatile). Berbagai klaim yang didengungkan oleh perusahaan-perusahaan, yang umumnya berupa perusahaan baru (startup), di subsektor ini terbukti jauh dari kenyataannya.

Dalam periode 2023-2025 saja di AS puluhan perusahaan energi hijau, khususnya energi matahari (solar energy), sudah atau sedang bersiap mengajukan permohonan Chapter 11 alias bangkrut atau pailit. Hal ini perlu dicermati untuk program yang didukung oleh pemerintah, seperti peresmian pabrik panel surya di Kendal oleh Menteri Perindustrian, dan beberapa proyek strategis di Tanah Air oleh Presiden Prabowo beberapa waktu lalu.

CAKUPAN EKONOMI HIJAU

Ekonomi hijau (EH) bertujuan meningkatkan kesejahteraan manusia sambil melindungi lingkungan dan sumber daya alam. Ditekankan pada efisiensi sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan pembangunan berkelanjutan. Tujuan utamanya ialah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tidak merusak lingkungan dan memaksimalkan manfaat bagi masyarakat.

Begitu pentingnya isu yang tercakup dalam pengertian ini, hampir semua negara di dunia sepakat untuk menempatkannya di dalam strategi pembangunan jangka menengah dan panjangnya. Di Indonesia bahkan lembaga penentu kebijakan moneter seperti Bank Indonesia merespons positif dengan membentuk Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau (DEIH) pada awal tahun ini.

Cakupan EH bervariasi, tapi secara umum meliputi: pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, pengurangan emisi karbon (C), peningkatan efisiensi, inklusivitas sosial, dan keseimbangan ekosistem. Ekonomi hijau mendorong penggunaan sumber daya alam secara bijaksana dan efisien sehingga dapat terus digunakan untuk generasi mendatang.

Sejalan dengan itu, sistem ini menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Di pihak lain, EH mendorong inovasi dan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi energi, air, dan sumber daya lainnya. Tujuan lainnya ialah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan dengan memastikan bahwa manfaatnya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Pada prinsipnya, EH menekankan pentingnya menjaga kesehatan dan keseimbangan ekosistem untuk memastikan keberlanjutan lingkungan. Bagaimanapun, dalam realitasnya prospek yang diusung berupa kelestarian lingkungan akibat pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca (GRK) terbukti tidak cukup mampu menghasilkan kegiatan usaha yang menguntungkan secara berkelanjutan.

IMPLEMENTASI EKONOMI HIJAU

Dalam implementasinya, EH tidak terlepas dari penerapan sistem yang di dalamnya terdapat teknologi sebagai komponennya. Di sektor industri menyangkut penggunaan teknologi ramah lingkungan, seperti energi terbarukan dan proses produksi yang lebih efisien. Terkait dengan sektor pertanian, penerapan pertanian organik dan sistem pertanian yang berkelanjutan menjadi pilihan utama.

Pengertian pertanian yang berkelanjutan ini secara sederhana dapat diartikan sebagai yang tidak merusak lingkungan, mempertahankan dan/atau meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan pendapatan, menyejahterakan pelaku usaha tani, meningkatkan kesempatan pendidikan, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Di sektor transportasi difokuskan pada penggunaan kendaraan listrik dan transportasi publik yang ramah lingkungan. Desain dan konstruksi bangunan yang ramah lingkungan dan efisien merupakan fokus dari sektor infrastruktur. Dalam upaya pengelolaan limbah yang produktif dilakukan pengurangan dan pengelolaan limbah yang lebih baik, termasuk daur ulang dan kompos.

Tentu saja semua rumusan tersebut memiliki target-target yang terkait dengan program pembangunan berkelanjutan seperti peningkatan kesejahteraan manusia, pelestarian lingkungan hidup, peningkatan keberlanjutan, dan peningkatan daya saing.

Ekonomi hijau dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat, membantu menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang, menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tahan terhadap perubahan iklim dan krisis sumber daya, serta meningkatkan daya saing industri dan negara yang mengadopsinya.

KEBIJAKAN EKONOMI HIJAU DI INDONESIA

Ekonomi hijau di Indonesia didefinisikan sebagai sebuah model pembangunan ekonomi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang fokus pada investasi, modal, infrastruktur, pekerjaan, serta keterampilan untuk mencapai kesejahteraan sosial dan lingkungan berkelanjutan. Definisi itu diadopsi dari UNEP yang kemudian dikerucutkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus memprioritaskan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau di Indonesia, Bappenas telah bekerja sama dengan Global Green Growth Institute dimulai pada 2013. Terdapat tiga sektor yang menjadi kunci dalam perwujudan EH Indonesia, yaitu energi berkelanjutan, lanskap berkelanjutan, dan infrastruktur berkelanjutan.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah bertindak secara progresif untuk menetapkan EH di berbagai dokumen, salah satunya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang memuat pembangunan rendah karbon (PRK). Terdapat tiga strategi utama dalam pembangunan rendah karbon, di antaranya penurunan gas rumah kaca hingga mencapai net zero emission, stimulus hijau untuk memulihkan ekonomi, dan implementasi pembangunan rendah karbon untuk memenuhi target dalam RPJMN 2020-2024.

Dalam RPJMN 2025-2029, EH kembali menjadi prioritas sebagai bagian dari upaya mencapai pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Penerapan EH ini tentu bertujuan mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan. Bersama dengan ekonomi biru, EH menjadi bagian dari prioritas nasional dalam RPJMN 2025-2029 yang bertujuan mendorong kemandirian bangsa melalui berbagai sektor, termasuk pangan, energi, air, ekonomi syariah, ekonomi digital, dan ekonomi hijau.

Penerapan ekonomi hijau akan diukur melalui berbagai indikator, termasuk penurunan tingkat kemiskinan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Transisi menuju ekonomi hijau diharapkan dapat memberikan manfaat seperti peningkatan produk domestik bruto (PDB) rata-rata, penurunan intensitas emisi, penyelamatan emisi gas rumah kaca, dan penambahan lapangan kerja di sektor hijau (green jobs).

KINERJA INDUSTRI ENERGI HIJAU

Industri di subsektor energi yang tergolong turunan dari sistem EH ialah yang dapat dianggap paling cepat perkembangannya. Pengertiannya tentu ialah bahwa usaha ini berbasis pemanfaatan sumber daya alam terbarukan sehingga mengurangi ketegantungan pada sumber energi fosil dan sekaligus mengurangi sumber pencemaran atmosfer yang memicu perubahan iklim, utamanya pemanasan global.

Kinerja industri hijau dapat dicermati dari data investasi EH. Secara umum, dilaporkan bahwa pada 2024 EH global berlanjut perkembangannya yang mencapai kapitalisasi US$7,2 triliun pada kuartal pertama. Hal ini menunjukkan kebangkitan nyata dari kondisi tahun 2022 yang kemudian menempatkannya sebagai industri unggul di dunia.

Namun, terkait dengan keberlanjutan dana investasi, tercatat kinerja yang tidak konstan yang mana berada di atas kinerja dana tradisional dalam kurun waktu paruh kedua untuk pertama kali sejak 2022 selain mencapai puncak baru dalam hal aset yang dikelola sebesar US$3,56 triliun (per 31 Desember 2024).

Untuk jangka waktu lebih panjang, dana berkelanjutan (sustainable funds) mengalahkan dana tradisional. Hasil analisis data oleh Morningstar menunjukkan bahwa investasi dana berkelanjutan sebesar US$100 pada 2018 sama nilainya dengan US$136 pada tahun ini, sedangkan dengan dana tradisional hanya sebesar US$131.

Di sisi lain, menurut London Stock Exchange Group (LSEG), EH merupakan perwujudan dari kesempatan berinventasi yang mana dalam hal ukuran, trajectory pertumbuhan, dan kinerja keuangan menunjukkan kesempatan investasi terbesar dalam abad 21. Bagaimanapun, lembaga ini menyimpulkan bahwa akibat dari kombinasi faktor gangguan rantai pasok, inflasi biaya, dan proteksi hijau telah menyebabkan kinerja cepat-sirna dari EH sejak 2020.

Setelah perkembangan yang cepat pada 2020-2021, diikuti penurunan tajam pada 2022, kapitalisasi pasar EH pulih pada 2023 dan awal 2024 hanya 9%. Ekonomi hijau global telah menjadi pertimbangan penting dalam geopolitik karena para pembuat kebijakan mencari langkah untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan lingkungan lainnya, searah dengan ketahanan energi dan pembangunan ekonomi.

PENGALAMAN BURUK INDUSTRI ENERGI HIJAU

Industri energi hijau yang paling cepat perkembangannya ialah yang menggunakan tenaga surya dan biomasa tanaman. Pertumbuhan awalnya tergolong cepat akibat dorongan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang selama ini tidak dimanfaatkan dan/atau merupakan bagian dari upaya pelestarian lingkungan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir dilaporkan bahwa banyak perusahaan energi hijau di AS, khususnya di sektor tenaga surya, mengalami kebangkrutan dan terpaksa ditutup.

Dalam periode 2022-2023, sekitar 80 tahun perusahaan energi hijau terkait dengan energi surya di AS sudah atau sedang mengajukan permohonan Chapter 11 sebagai bentuk dari pernyataan pailit karena perusahaan mengalami kesulitan finansial (bangkrut).

Itu menunjukkan tantangan nyata dalam industri energi terbaharukan bahwa prospek bisnisnya tidak seindah yang dibayangkan karena membutuhkan dukungan-dukungan tertentu agar dapat sukses. Perusahaan-perusahaan seperti Sunnova, SunPower, dan Lumino Solar sudah membukukan kebangkrutan, sedangkan lainnya seperti Pink Energy dan Vision Solar sudah menghentikan operasi mereka.

Faktor penyebabnya secara umum ialah kombinasi antara tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi, masalah rantai pasok, dan ketidak-pastian kebijakan pemerintah. Ternyata tidak hanya yang berbasis energi matahari yang menghadapi kesulitan, industri energi berbasis biomas khususnya bahan/limbah kayu di AS seperti Enviva dan Fulcrum BioEnergy juga sudah mengalami kesulitan keuangan, dan menyatakan bangkrut.

Sekali lagi, aspek viabilitas keuangan dan faktor operasional yang menyangkut bahan baku menjadi tantangan utama industri hijau ini. Dilaporkan oleh Mongabay bahwa Enviva sebagai perusahaan terbesar energi biomas berupa pelet kayu (80% pinus dan 20% kayu hutan) tidak mampu mengatasi masalah operasional mereka di North dan South Carolina akibat bahan kayu pinus yang korosif meskipun harganya relatif murah menyebabkan pelambatan dan akhirnya berhenti produksi.

Di pihak lain, Fulchrum Bioenergy yang memproses limbah menjadi bioavtur dengan pabriknya di Reno, Nevada, juga menutup operasi mereka pada September 2024 akibat kesulitan bahan baku.

STRATEGI YANG BERKELANJUTAN

Pelajaran yang dapat kita peroleh dari uraian di atas sangat penting sebagai pengingat bahwa EH dengan salah satu wujudnya berupa industri energi hijau ternyata banyak tantangannya. Tantangan utamanya berupa aspek finansial yang khususnya terkait dengan kebijakan pemerintah dalam program subsidi dan/atau bunga pinjaman bank yang makin berat.

Fenomena ini tentu perlu diambil sebagai peringatan untuk Indonesia yang sedang semangat membangun energi terbarukan khususnya berbasis nabati, seperti biodiesel dan bioethanol. Menggantungkan program biodiesel pada minyak kelapa sawit (CPO) saja bukanlah kebijakan yang pro keberlanjutan karena dampak negatif ikutannya cukup kompleks terkait dengan sumber APBN dan devisa dari ekspor CPO. Diversifikasi bahan baku mutlak dibutuhkan, dan perlu dipersiapkan sejak sekarang dengan pengembangan tanaman-tanaman penghasil minyak non pangan.

Selain itu, pengembangan teknologi terus didorong agar proses produksi bahan bakar nabati (BBN) tidak tergantung produk impor, khususnya dalam hal katalisnya. Hal itu dapat dicapai dengan mendorong riset-riset pengembangan teknologi seperti yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dengan target produksi bensin sawit, katalis Merah Putih, biohidrokarbon untuk bioavtur, dan pelet dari biomas kelapa sawit untuk energi hijau. Diperkirakan makin meluas dampak ekonominya dengan tambahan biomas dari kelapa dan/atau kakao.

Tanpa mau belajar dari pengalaman negara lain, kita akan terjerumus ke dalam lubang menganga yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |