
PENURUNAN muka air tanah di Cekungan Bandung telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan menjadi salah satu fenomena geologi paling serius di Indonesia. Artikel ini mengulas penyebab utama penurunan muka air tanah, keterkaitannya dengan karakteristik geologi Bandung sebagai bekas danau purba, dampak terhadap infrastruktur dan kehidupan masyarakat, serta strategi mitigasi berbasis sains geologi dan tata kelola air berkelanjutan. Data dan temuan terbaru dari berbagai riset dan lembaga pemerintah turut memperkuat urgensi penanganan masalah ini.
Gambar 1 Peta geologi Cekungan Bandung yang dimodifikasi dari (Tirtomihardjo, 2005)
Cekungan Bandung merupakan wilayah yang secara geologi sangat unik dan kompleks karena terbentuk dari endapan bekas danau purba yang didominasi oleh lapisan lempung hitam lunak serta material vulkanik. Karakteristik geologi ini membuat kawasan tersebut sangat rentan terhadap penurunan tanah (land subsidence), baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia, terutama eksploitasi air tanah secara berlebihan.
Daerah-daerah yang paling terdampak antara lain Cimahi, Dayeuhkolot, Gedebage, Rancaekek, Majalaya, Banjaran, Katapang, dan Leuwigajah, yang sebagian besar merupakan kawasan padat penduduk dan industri.Fenomena penurunan tanah di kawasan ini telah terdeteksi sejak 1980-an dan terus dipantau menggunakan teknologi satelit dan GPS, dengan hasil yang menunjukkan bahwa laju penurunan di Bandung lebih cepat dan luas jika dibandingkan dengan kota besar lain di Indonesia.
Selain tekanan dari aktivitas manusia, ketersediaan air tanah di masa depan juga semakin terancam oleh perubahan iklim global. Studi terbaru oleh Rusli dkk. (2023) menunjukkan bahwa proyeksi iklim masa depan berdasarkan skenario Representative Concentration Pathway (RCP) 4.5 dan RCP 8.5 dari Coupled Model Intercomparison Project Phase 6 (CMIP6) memperkirakan adanya penurunan ketersediaan air tanah di berbagai cekungan akibat kombinasi antara penurunan curah hujan, peningkatan suhu, dan perubahan pola aliran air permukaan.
Penelitian tersebut juga menegaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat memperparah tekanan terhadap air tanah yang sudah kritis akibat eksploitasi berlebihan, terutama di kawasan urban dan industri seperti Cekungan Bandung. Dengan demikian, risiko krisis air tanah di masa depan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lokal, tetapi juga oleh dinamika iklim global yang semakin sulit diprediksi.
Gambar 2 Peta penurunan tanah di Cekungan Bandung periode tahun 1980-2016. Area merah adalah penurunan tanah dari 2 hingga 3,8 meter. (Foto: Liputan6.com/Zulfikar Abubakar).
Data menunjukkan bahwa penurunan muka air tanah di Bandung Raya mencapai 1–20 cm per tahun, bahkan di beberapa titik sudah mencapai total 3–4 meter dalam dua dekade terakhir. Kedalaman muka air tanah saat ini rata-rata sudah mencapai 60–100 meter, jauh dari batas aman 20–40 meter, sehingga masyarakat dan industri harus mengebor sumur lebih dalam untuk mendapatkan air bersih. Kondisi ini menandakan bahwa ketersediaan air tanah di kawasan Bandung Raya sudah tergolong kritis dan beberapa wilayah, seperti Rancaekek dan Leuwigajah, sudah masuk kategori rusak akibat penurunan muka air tanah yang ekstrem.
Penyebab utama dari fenomena ini adalah konsumsi air tanah yang tidak terkontrol, terutama oleh sektor industri dan rumah tangga, serta pengurangan daerah resapan air akibat urbanisasi dan alih fungsi lahan yang masif. Karakteristik geologi berupa lapisan lempung yang sangat kompresibel juga mempercepat proses amblesan tanah, terutama di wilayah bekas danau purba. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pembangunan infrastruktur yang pesat semakin memperparah tekanan terhadap sumber daya air tanah dan mempercepat penurunan permukaan tanah. Hasil simulasi dari Rusli dkk. juga menyoroti bahwa tekanan terhadap air tanah di masa depan akan semakin berat jika tidak ada intervensi kebijakan pengelolaan yang adaptif terhadap perubahan iklim dan pertumbuhan kebutuhan air domestik maupun industri.
Gambar 3 Foto bukti penurunan tanah yang terjadi di wilayah cekungan Bandung (a) penurunan pondasi rumah di wilayah Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, (b) garis retakan pada konstruksi jalan di wilayah Cimahi. Foto diambil dari dokumentasi (Gumilar et al., 2013)
Dampak dari penurunan muka air tanah ini sangat luas dan serius. Kerusakan infrastruktur seperti rumah retak, jalan bergelombang, dan utilitas publik yang terganggu menjadi hal yang semakin sering dijumpai di kawasan terdampak. Krisis air bersih juga mulai dirasakan oleh masyarakat karena sumur dangkal mengering dan kualitas air menurun drastis, sehingga warga harus menggali sumur lebih dalam dengan biaya yang tidak sedikit.
Penurunan permukaan tanah juga membentuk cekungan baru yang memperluas area rawan banjir, khususnya di Dayeuhkolot dan Rancaekek, sehingga risiko bencana sekunder seperti banjir semakin meningkat. Akibatnya, terjadi gangguan ekonomi dan sosial yang signifikan, mulai dari biaya perbaikan infrastruktur hingga penurunan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi mitigasi yang komprehensif dan berbasis sains geologi serta tata kelola air berkelanjutan. Pengelolaan air tanah harus dilakukan secara ketat, dengan pembatasan ekstraksi air tanah, optimalisasi penggunaan air permukaan, dan perlindungan daerah resapan.
Pemantauan kondisi geologi dan hidrogeologi menggunakan teknologi satelit, GPS, dan metode geofisika sangat penting untuk mengetahui laju dan pola penurunan tanah secara berkala. Selain itu, perencanaan tata ruang berbasis risiko geologi harus diterapkan untuk menghindari pembangunan di zona rawan penurunan tanah dan memperkuat kebijakan tata ruang berbasis data ilmiah.
Edukasi masyarakat dan kolaborasi multi-pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga riset, industri, dan komunitas, sangat diperlukan agar upaya mitigasi dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. Dengan pendekatan multidisiplin dan sinergi lintas sektor, diharapkan ancaman penurunan muka air tanah dan bencana geologi di Cekungan Bandung dapat diminimalisir demi masa depan perkotaan yang lebih aman dan lestari. Selain itu, strategi adaptasi juga harus mempertimbangkan skenario perubahan iklim dan proyeksi kebutuhan air di masa depan, seperti yang disarankan oleh Rusli dkk, agar kebijakan pengelolaan air tanah benar-benar mampu menjawab tantangan jangka panjang.
Referensi
Rusli, S.R., Bense, V.F., Mustafa, S.M.T., & Weerts, A.H. (2023). The impact of future climate projections and anthropogenic activities on basin-scale groundwater availability.
Nugroho Aji Satriyo, dkk. (2024). "The review of the geological disaster of Bandung Basin subsurface: perspective from geological approach." Research Center for Geological Disaster, BRIN, UNPAD