Transformasi Desa belum Antarkan pada Kesejahteraan Rakyat

3 hours ago 2
Transformasi Desa belum Antarkan pada Kesejahteraan Rakyat (MI/HO)

DESA mengalami transformasi di bawah UU Nomor 6 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024. Namun, transformasi tersebut belum sepenuhnya menghantarkan desa ke pintu gerbang kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Terdapat banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang mengebiri kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, seperti penggunaan dana desa untuk bantuan langsung tunai (BLT) dan stunting yang membuat desa menjadi kurang berwenang dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Itu diangkat Kuliah Umum dan Buka Puasa Bersama dengan topik Transformasi Desa Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat yang digelar Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan The Indonesian Power for Democracy (IPD), Yogyakarta, Sabtu (15/3).

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD Sutoro Eko Yunanto menyampaikan dua cara pandang dalam memandang desa yang saling kontradiksi. Pertama, cara pandang esensialisme yang memandang desa sebagai situs keaslian bagi negara bangsa-modern. Sebagai situs keaslian, desa menyimpan dan memberi nilai-nilai yang merupakan tradisi agung untuk memberikan inspirasi dalam pembentukan negara-bangsa. Esensialisme memandang desa memberi nilai dan kultur yang akan membentuk sikap politik, baik para pemimpin maupun masyarakat dalam memandang dunia maupun memandang negara bangsa modern yang dibentuk. 

Selain itu, cara pandang yang kedua adalah modernisme yang memandang desa sebagai situs yang kolot, jadul, kuno, miskin, bodoh dan terbelakang. Akibatnya desa terus menerus digempur dengan modernisasi dan pembangunan-pembangunan yang diklaim membawa pertumbuhan dan kemajuan bagi desa. Realitasnya, desa diperkosa, diperalat, dan diseret menjadi semakin tidak berdaya dan berdaulat atas dirinya sendiri. kop berbagai macam program lintas sektoral yang membatasi kewenangan pemerintah desa. "Ketika pemerintah desa gagal menjalankan program, desa dituding tidak punya kapasitas, SDM rendah dan sebagainya. Negara membangun sambil merusak, memajukan sambil melemahkan desa. Inilah yang saya sebut sebagai kontradiksi," katanya.

Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Luky Agung Yusgiantoro yang diwakilkan oleh Sekjen ISKA Arie Sulistiono mengatakan bahwa desa merupakan pintu gerbang untuk mencapai kedaulatan dan kesejahteraan negara. Kalau desa tidak berdaulat dan tidak sejahtera, itu juga menjadi ukuran negara. Negara melalui pemerintah, mesti terus didorong untuk meningkatkan keberpihakan terhadap desa, terutama memperkuat kewenangan dan kemandirian desa. 

Karena itu, dia menyambut baik kegiatan kolaborasi bersama STPMD APMD untuk mengupayakan desa yang lebih berdaulat dan bermartabat. Sebagai bentuk keterlibatan orang Katolik dalam pembangunan negara, kata dia, ISKA berkomitmen memperkuat desa, karena ketika desa kuat negara akan maju dan berkembang. "Tidak akan ada negara maju dan berkembang kalau desanya belum adil, makmur dan sejahtera," ungkapnya.

Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dari Fisipol UGM menegaskan bahwa kita selalu keliru dalam memandang bahwa pembangunan desa seakanakan merupakan jerih payah pemerintah pusat, tidak dipahami bahwa pembangunan merupakan bagian dari jerih payah rakyat yang diorkestari oleh pemerintah. Dengan cara pandang ini, kita pun melihat bahwa kedaulatan dan kesejahteraan rakyat merupakan jerih payah pemerintah bukan jerih payah rakyat.

Karena kedaulatan dan kesejahteraan dianggap sebagai usaha pemerintah dalam mewujudkannya, rakyat sering sekali dijadikan objek. Rakyat tidak menjadi berdaulat, karena sering dijadikan proyek pemerintah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Otonimi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman menambahkan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Desa perlu berkembang menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menjadi tonggakan negara dalam mengukur keberhasilan. 

Namun, KPPOD melihat bahwa desa masih dijadikan obyek bagi pemerintah dalam menyelenggarakan negara. Ide menghadirkan Koperasi Merah Putih, misalnya, justru menempatkan desa sebagai objek yang tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD APMD Gregorius Sahdan menyampaikan bahwa kita perlu melihat desa dari perspektif rakyat jelata, bukan dari perspektif elite. Dari perspektif rakyat, desa selalu dijadikan anak tiri republik, jadi korban kebijakan pemerintah, dianggap bodoh, tidak mampu dan bahkan disingkirkan dalam proses kebijakan publik. Sejarah republik sebenarnya adalah sejarah kontribusi desa. 

Ada negara karena ada desa. Namun pemerintah dengan berbagai kebijakannya kerap mengabaikan desa dan menganggap desa tidak memiliki kewenangan. Lima tahun terakhir pemerintahan Jokowi, desa kerap dijadikan sebagai korban kebijakan kementerian sektoral yang menyedot dan mengambil dana desa. Misalnya kebijakan stunting dari Kementerian Kesehatan, BLT Dana Desa dari Kementerian Sosial, SDGs dari Bappenas, Ketahanan Pangan dari Kementerian Pertanian, Pendidikan Berkualitas dari Kementrian Pendidikan, menyebabkan Musyawarah Desa (Musdes) hanya sekedar formalitas untuk menyetujui program kementerian sektoral yang telah membagi habis penggunaan dana desa untuk membiayai berbagai program tersebut. 

Desa juga tengah dikepung oleh Koperasi Masuk Desa yang rencananya juga diambil dari dana desa. Karena itu, masalah air bersih, listrik desa, dan sebagainya kerap diabaikan demi memuluskan program kementerian sektoral ini. Anehnya Menteri Desa melalui Peraturan Penggunaan Dana Desa memberikan jalan mulus bagi pelaksanaan program kementerian sektoral ini. (RO/I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |