Surat Mendag soal BMAD dari Tiongkok buat Industri Tekstil Nasional Geram

6 hours ago 2
Surat Mendag soal BMAD dari Tiongkok buat Industri Tekstil Nasional Geram Pelaku UMKM menunjukkan kode pembayaran QRIS saat transaksi dengan pembeli di Solo Art Market (SAM) Solo, Jawa Tengah( ANTARAFOTO/Maulana Surya/rwa)

SEBUAH surat internal Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang ditandatangani Mendag Budi Santoso pada 13 Juni 2025 beredar luas di publik. Dalam surat tersebut, Mendag mengarahkan agar rencana pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk benang filamen asal Tiongkok tidak dilanjutkan.

Dalam surat tersebut tercantum sejumlah masukan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Bappenas, dan Menteri Perindustrian, yang pada intinya menyarankan agar pengenaan BMAD dikaji secara komprehensif dari hulu hingga hilir, bukan dihentikan begitu saja.

Kondisi itu memicu kegaduhan dan kemarahan di kalangan pelaku industri tekstil dalam negeri. Padahal, kewenangan untuk mengumumkan keputusan terkait pengenaan BMAD sebenarnya berada di tangan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) selaku pihak yang memberikan rekomendasi.

Karena itu, Ketua APSyFI (Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia) Redma Gita Wirawasta mempertanyakan hal tersebut. Kata dia, industri pun merasa dikhianati oleh kebijakan negara sendiri yang memberikan 'karpet merah' terhadap impor.

"Surat ini bocor, dan sekarang semua ribut. Yang jadi pertanyaan kok bisa arahan sepenting ini berubah diam-diam. Ini menyangkut nasib ribuan pabrik dan jutaan tenaga kerja," kata Redma dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (20/6). 

"Itu surat internal yang sudah ditandatangani, tapi belum diumumkan. Tapi kenapa udah nyebar ke Tiongkok dan media," lanjutnya. 

Sebelumnya, KADI telah menemukan adanya dumping dan merekomendasikan adanya BMAD untuk produk benang filament. Namun munculnya keputusan dalam surat tersebut justru menyatakan kebijakan itu akan dihentikan, tanpa penjelasan publik.

Mengacu pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan antidumping apabila terdapat produk impor yang dijual di bawah harga normal dan menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Tindakan tersebut dilakukan melalui pengenaan BMAD.

Menurutnya, kebijakan itu bukan hanya keliru, tetapi juga membahayakan masa depan industri tekstil Indonesia. Ia menjelaskan, tekanan dari produk-produk impor, khususnya dari Tiongkok, sudah berada di luar batas kewajaran.

Harga produk impor yang masuk jauh di bawah harga pasar lokal, bukan karena efisiensi produksi, melainkan karena subsidi negara dan praktik dumping sistemik. "Ini bukan perdagangan sehat. Ini perang dagang. Tapi yang diselamatkan justru bukan tentaranya (industri lokal), malah lawannya," ujar Redma. 

Dia menilai adanya ketidaktertiban dalam tata kelola kebijakan perdagangan dan membuka kemungkinan adanya konflik kepentingan. Jika dibiarkan begitu saja, Indonesia, sebagai negara dengan ekosistem tekstil lengkap di dunia selain China dan India, industri bisa punah.

"Ini bukan soal efisiensi, ini soal siapa yang dikasih izin main. Lama-lama industri dalam negeri bisa mati," terang Redma. 

Menurutnya, pendekatan pemerintah selama ini terlalu berpihak pada harga murah yang mengorbankan industri dalam negeri. Padahal, industri tekstil memiliki efek berantai yang besar, dengan satu pabrik bisa menyerap 1.000 hingga 3.000 tenaga kerja, dan seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir ikut hidup.

"Kalau pabrik jalan, tenaga kerja hidup, PLN dapat pemasukan, negara juga hemat karena nggak perlu kasih BLT (bantuan langsung tunai), karena semua kerja. Tapi sekarang cuma mikir satu sisi, harga murah," tutur Redma. 

Selain itu, keputusan tersebut juga berbanding terbalik dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun pabrik petrochemical complex terbesar di Indonesia, karena jika industri hulu mati, impian itu hanya menjadi angan-angan. Hal itu tentu menjadi pertanyaan besar, di mana bentuk nasionalisme terhadap industri lokal.

"Kita butuh perlindungan. Kita tidam minta dimanjakan, kita minta fairness. Jangan sampai pemain lokal mati karena pemerintahnya sendiri nggak netral," pungkas Redma.

Sebelumnya, melalui siaran pers, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan bahwa pemerintah memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi KADI mengenai pengenaan BMAD atas impor benang filamen sintetis tertentu asal Tiongkok. 

Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.

"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas. Kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri," jelas Budi. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |