
PADA Rabu, 4 Juni 2025, suasana Universitas Kristen Indonesia (UKI) dipenuhi energi berbeda. Ratusan mahasiswa, dosen, dan aktivis kemanusiaan berkumpul bukan sekadar untuk berdiskusi, melainkan menumbuhkan empati. Acara bertajuk “Suara Pengungsi: A Celebration of Shared Humanity, Hope, and Dignity”, hasil kolaborasi UKI dan Jesuit Refugee Service (JRS), digelar untuk memperingati Hari Pengungsi Dunia yang jatuh setiap bulan Juni.
Akademisi Fisipol UKI, Darynaufal Mulyaman, S.S., M.Si. menjelaskan bahwa inisiatif ini menjadi ruang bagi para pengungsi dari Pakistan, Iran, Irak, Yaman, dan Myanmar untuk menyuarakan harapan serta martabat mereka. Diselenggarakan dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB, inisiatif ini dirancang bukan hanya untuk mengedukasi, melainkan untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan.
“Melalui pemutaran film dokumenter, hadirin diajak menyelami realitas kehidupan pengungsi yang kerap luput dari narasi besar media. Film ini tidak hanya menyoroti aspek pelarian, namun juga perjuangan mereka untuk bertahan hidup, membangun kembali, dan tetap optimis. Visual yang jujur, kadang tanpa dialog namun menusuk kalbu, membuka ruang diskusi yang intens, namun tetap hangat,” ujar Darynaufal.
Dokumenter tersebut menghadirkan kisah-kisah personal yang kuat; anak-anak yang terputus dari pendidikan, perempuan yang gigih memperjuangkan haknya, dan keluarga yang berupaya membentuk komunitas di negeri asing. Semua disajikan apa adanya, tanpa dramatisasi berlebihan, hanya dengan kejujuran yang menampakkan luka sekaligus keteguhan jiwa.
“Yang menarik, acara ini tidak berhenti pada sekadar penyampaian informasi pasif. Peserta diajak terlibat dalam interaksi terbuka bersama para pengungsi, binaan dari JRS, dan akademisi UKI. Sesi kesan dan pesan berlangsung dinamis, membahas kompleksitas isu pengungsi dari sudut pandang kreatif, seperti melalui film pendek dan pertunjukan kebudayaan,” jelas Dary.
Suasana semakin akrab saat sesi pertukaran budaya dimulai. Para pengungsi dan peserta saling berbagi musik, bahasa, dan cerita, menciptakan ruang yang merayakan keberagaman. Terjadi pula pertukaran budaya yang nyata, seperti penjualan makanan tradisional dari negara asal pengungsi, pameran budaya, dan bazaar hasil karya mereka selama di penampungan sementara.
Acara ditutup dengan “OPEN CLASS”, sesi kelas terbuka di mana pengungsi dan peserta saling berbagi pengalaman. Sesi ini menekankan pembelajaran bersama yang melibatkan para pengungsi secara aktif dan reflektif, menjadikan mereka bagian tak terpisahkan dari seluruh rangkaian acara.
“Mereka berkesempatan belajar seni kuku, menulis kreatif, Bahasa Indonesia, dan nirmana ruang hingga sore hari. Tujuannya adalah menempatkan isu pengungsi bukan sebagai angka statistik belaka, melainkan sebagai persoalan martabat manusia,” tutur Darynaufal.
“Melalui pendekatan yang menyentuh nalar dan hati, UKI dan JRS membuktikan bahwa solidaritas bukanlah sekadar konsep akademis, melainkan dapat diwujudkan di tengah-tengah kampus. Sebab, pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari satu narasi besar yang bernama kemanusiaan,”pungkasnya.
Seperti yang diungkapkan salah seorang peserta, "Hari ini saya tidak hanya belajar tentang pengungsi. Saya merasa diajak untuk melihat mereka sebagai saudara." (H-2)