Sinyal Buruk Perekonomian Indonesia

1 day ago 4
Sinyal Buruk Perekonomian Indonesia Pembeli memilih sayuran dan bumbu dapur di Pasar Pabaeng-Baeng Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (4/6).(Antara)

EKONOM Bright Institute Awalil Rizky menilai inflasi yang rendah hingga terjadinya deflasi berulang merupakan indikasi negatif bagi perekonomian Indonesia. Dia menegaskan deflasi bukan sekadar akibat, melainkan pemicu melemahnya aktivitas ekonomi serta menunjukkan ketidakefektifan kebijakan ekonomi

"Ini menjadi sinyal buruk bagi perekonomian Indonesia," ungkapnya kepada Media Indonesia, Rabu (4/6).

Dia menyebut ketika deflasi terjadi selama berbulan-bulan dalam rentang satu hingga dua tahun, meskipun tidak selalu berlangsung secara berturut-turut, hal ini menandakan melemahnya daya beli masyarakat secara sistemik.

Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut pada Januari dan Februari 2025, kemudian kembali mencatat deflasi pada Mei 2025 setelah mengalami inflasi pada Maret dan April. 

Dampaknya, dunia usaha juga menghadapi ketidakpastian yang semakin tinggi. Perlahan namun pasti, pelaku usaha mulai mengurangi produksi, mengambil margin keuntungan lebih kecil, dan akhirnya terpaksa mengurangi jumlah tenaga kerja. Efek domino dari kondisi ini akan terus menekan daya beli masyarakat, sekaligus menghambat rencana investasi.

"Ini karena pelaku usaha cenderung menunda atau bahkan menurunkan nilai investasinya," kata Awalil

Kekhawatiran atas kondisi ekonomi nasional juga tercermin dari proyeksi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% pada 2025 dan hanya naik tipis menjadi 4,8% pada 2026. 

Proyeksi ini, kata Awalil, sejalan dengan prediksi lembaga internasional lain seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya akan berada di kisaran 4,65% pada 2025, dan baru mencapai 5,11% pada 2029, suatu peningkatan yang sangat lambat.

Di sisi lain, pemerintah masih tetap mematok asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN sebesar 5,2%, meskipun terkadang disampaikan dengan retorika lebih fleksibel, yaitu sekurangnya 5%. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, target pertumbuhan pun tetap tinggi di kisaran 5,2–5,8%. Ini menunjukkan adanya jarak yang cukup jauh antara proyeksi realistis dan asumsi pemerintah.

"Sikap pemerintah yang enggan mengakui kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja menunjukkan absennya sense of crisis," tuding Awalil.

Padahal, lanjutnya, pengakuan terhadap realita merupakan langkah awal untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran. Tentu saja Pemerintah tidak perlu bersikap pesimis, namun penting bagi publik dan pasar untuk melihat sikap realistis bahwa memahami situasi dan memiliki rencana yang kredibel untuk mengatasinya, bukan sekadar menyampaikan janji-janji kosong.

Indonesia membutuhkan kebijakan afirmatif yang berkelanjutan, terutama dengan memprioritaskan anggaran yang terbatas untuk program-program yang benar-benar berdampak langsung terhadap pemulihan ekonomi, bukan proyek-proyek populis yang belum tentu produktif.

Pemerintah diminta melakukan perombakan atas prioritas kebijakan. Desain ulang ini perlu mempertimbangkan proyeksi lembaga-lembaga internasional dan pandangan para ahli ekonomi secara serius, agar arah pembangunan ekonomi Indonesia bisa kembali ke jalur yang realistis, inklusif, dan berdaya tahan. (E-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |