Setelah Alex Pastoor Berbicara

5 hours ago 2
Setelah Alex Pastoor Berbicara Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(MI/Seno)

TIM pelatih asal Belanda yang dianggap 'tinggal glanggang colong playu' setelah kegagalan di Jeddah, Arab Saudi, akhirnya buka suara. Asisten pelatih Alex Pastoor kepada media di negaranya menjelaskan mengapa ia dan pelatih Patrick Kluivert tidak mau melanjutkan kontrak yang masih lebih satu tahun.

Pastoor merasa mendapat dukungan luar biasa dari pencinta sepak bola Indonesia ketika pertama tiba di Jakarta. Ia sadar bahwa salah satu target yang diberikan kepada tim pelatih ialah membawa Indonesia lolos ke putaran final Piala Dunia 2026.

Ia menilai wajar apabila semua negara ingin tampil di ajang pesta sepak bola dunia empat tahunan itu. Hanya, tidak logis apabila negara yang berada di peringkat 119 dunia dan tidak memiliki sistem pembinaan serta kompetisi yang baik ingin lolos ke Piala Dunia.

Oleh karena itu, ia menginginkan agar kehadirannya di Indonesia tidak sekadar untuk kepentingan lolos ke Piala Dunia 2026. Ia juga ingin membangun sistem pembinaan sepak bola jangka panjang yang benar agar anak-anak Indonesia bisa tumbuh sebagai pemain-pemain kelas dunia.

Pastoor melihat potensi itu sangat besar. Banyak pemain berbakat yang ada di daerah-daerah. Kalau mereka dibina secara benar sejak usia dini dan masuk dalam kompetisi yang sehat, bakat-bakat tersebut akan muncul dan bersinar.

Oleh sebab itu, ia datang bersama Gerald Vanenburg dan Frank van Kempen untuk mempersiapkan pemain-pemain U-23 dan U-20 agar bisa masuk tim senior. Tidak hanya itu, PSSI menunjuk Jordi Cruyff sebagai penasihat dan Alexander Zwiers sebagai direktur teknik.

Namun, Pastoor melihat suasana yang berbeda setelah dua kali kekalahan dari Arab Saudi dan Irak di babak keempat penyisihan Piala Dunia 2026 Grup Asia. Aura negatif yang berkembang di Indonesia seakan melupakan agenda jangka panjang yang perlu dilakukan.

Kondisi yang tidak kondusif itulah yang membuat tim pelatih memutuskan untuk mengakhiri kontrak. Mereka memutuskan tidak akan kembali lagi ke Indonesia dan memilih untuk melihat di tempat lain yang situasinya lebih positif.

Penjelasan yang disampaikan Pastoor perlu dilihat dari sisi yang positif, bukan sekadar persoalan lari dari tanggung jawab. Berulang kali di kolom ini saya sampaikan bahwa membina pemain dan membangun sebuah tim sepak bola akan melalui proses yang panjang.

PRINSIP PEMBINAAN

Tidak pernah ada jalan pintas dalam membangun sepak bola. Mimpi untuk lolos ke ajang Piala Dunia harus ditempatkan dalam konteks pembinaan jangka panjang, dan itu harus dimulai dari usia dini.

Prancis yang memperkenalkan Piala Dunia pada 1930, baru bisa mengangkat trofi Piala Dunia setelah 68 tahun berjuang. Prestasi itu baru bisa didapatkan setelah Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Fernand Sastre mendirikan Akademi Sepak Bola Nasional di Clairefontaine pada 1988.

Dengan sistem pembinaan pemain usia muda berjenjang dari tingkat lokal, lahir pemain-pemain besar seperti Thierry Henry, Nicolas Anelka, Louis Saha, William Gallas, Hatem Ben Arfa, Abou Diaby, Medhi Benatia, Blaise Matuidi, Raphael Guerrero, dan Kylian Mbappe. Dari banyak pemain yang dilahirkan itu pun, baru dua kali yakni di Piala Dunia 1998 dan Piala Dunia 2018, Prancis bisa menjadi juara dunia.

Ironis ketika kita tidak pernah mau membina, tetapi bermimpi untuk bisa meraih prestasi tinggi. Mimpi indah lolos ke Piala Dunia dibuaikan melalui naturalisasi yang begitu masif. Anehnya, semua orang ekstasi dengan pembinaan yang semu itu.

Kini, setelah mimpi itu buyar, seharusnya kita segera terbangun dari tidur. Pesan yang disampaikan Pastoor seharusnya menghardik kesadaran para pengurus sepak bola untuk menata pembinaan sepak bola dari dasar.

Kita hidupkan lagi sentra-sentra sepak bola Indonesia. Sejak dulu penyumbang pemain nasional yang hebat datang dari Medan, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Jayapura. Dari sanalah kita bangun kembali sepak bola Indonesia.

PSSI harus mau mendirikan akademi sepak bola yang ditangani pelatih-pelatih khusus usia dini yang memang tesertifikasi. Pemerintah daerah di kota-kota itu diminta untuk menyediakan lapangan sepak bola yang standar dan dalam jumlah yang mencukupi.

Setelah itu, hidupkan kembali kompetisi kelompok umur secara berjenjang. Dari tujuh sentra sepak bola yang dibangun itu pasti akan bermunculan pemain-pemain dengan potensi yang kuat.

Para pemain muda berbakat itulah yang dipersiapkan untuk menggantikan posisi pemain di tim senior sekarang ini. Kalau pembinaan usia dini tersebut benar dan mereka ditempa melalui kompetisi yang sehat, pasti akan bermunculan pemain yang bisa menggantikan posisi Jay Idzes, Thom Haye, atau Marselino Ferdinan di masa mendatang.

MAU ATAU TIDAK

Sekarang pertanyaannya, mau atau tidak kita bersusah payah membenahi persepakbolaan dan membina para pemain sepak bola nasional? Ataukah kita akan terus memilih jalan pintas, memiliki tim nasional tanpa sistem pembinaan usia dini dan kompetisi yang sehat?

Persoalan terbesar dalam pembinaan sepak bola pada semua tingkatan di Indonesia ialah para pengurus hanya mau dianggap berhasil karena mengangkat piala. Lupa bahwa melahirkan bintang sepak bola juga merupakan sebuah prestasi.

Kita membutuhkan pengurus yang mau berkorban seperti Sastre. Ia tidak pernah melihat Prancis mengangkat Piala Dunia, karena ketika Zinedine Zidane dan kawan-kawan menjadi juara dunia, Sastre sudah wafat. Namun, pencinta sepak bola Prancis mengakui Sastre sebagai 'Bapak Sepak Bola Prancis'.

Di negara yang maju sepak bolanya memang tidak ada pengurus yang menjadikan olahraga itu untuk kepentingan kekuasaan. Memang ketika Prancis menjadi juara dunia ada poster yang bertuliskan 'Zidane untuk Presiden'. Akan tetapi, itu hanya sebuah ekspresi dan Zidane sendiri tidak berniat untuk menjadi Presiden Prancis.

Semua orang harus setia kepada profesinya. Kalau ingin menjadi pengurus sepak bola, jadilah pengurus yang bertanggung jawab memajukan sepak bola. Kalau ingin menjadi bintang sepak bola, tekunlah berlatih seperti Cristiano Ronaldo.

Jangan kiprah di sepak bola sekadar dijadikan batu loncatan untuk jabatan politik. Sebab, kalau itu yang terjadi, pasti akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Kita pantas berterima kasih kepada Pastoor yang telah mengingatkan kembali soal bagaimana seharusnya membangun sepak bola ke depan. Sembilan bulan bersama tim nasional Indonesia cukup baginya untuk mengetahui akar persoalan pembinaan sepak bola di Indonesia, dan pelatih asal Belanda itu sudah menyampaikan juga jalan keluarnya.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |