
Ketegangan geopolitik di kawasan Teluk Persia, yakni Iran vs Israel, kembali memunculkan kekhawatiran global. Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, salah satu jalur pengiriman minyak utama dunia, menjadi pemicu potensi krisis baru. Bagi Indonesia, dampak paling nyata dari skenario itu bukan soal pasokan minyak langsung dari Iran, tetapi lonjakan harga minyak global yang berpotensi mengerek subsidi BBM kembali ke atas Rp500 triliun.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri menjelaskan, secara langsung Indonesia tidak banyak membeli minyak dari Iran. Namun, dampaknya tetap sangat signifikan lewat harga pasar dunia.
Penutupan Selat Hormuz akan menciptakan gejolak besar pada pasar energi global, yang efek lanjutannya akan menghantam struktur fiskal Indonesia, terutama dari sisi subsidi energi yang selama ini dijaga sangat besar oleh pemerintah.
"Subsidi itu (berpotensi) akan semakin besar lagi. Sekarang ini saja sudah diperkirakan hampir Rp400 triliun lebih, sekitar 13% dari APBN kita. Kalau naiknya lebih jauh lagi, itu bisa membengkak sampai seperti tahun 2022 itu. Saat itu subsidi BBM mencapai di atas Rp500 triliun. Besar sekali, pada saat itu 18% dari APBN," jelas Yose.
Kondisi fiskal Indonesia saat ini, imbuh Yose, justru lebih rentan dibandingkan dua tahun lalu. Pada 2022, meskipun anggaran subsidi melonjak, pemerintah masih punya ruang fiskal karena pandemi memaksa adanya pelonggaran kebijakan. Kini, tekanan datang dari berbagai arah, sementara pendapatan negara belum menunjukkan prospek yang meyakinkan.
"Kita tahu fiskal kita sendiri pada saat ini tidak terlalu baik-baik amat. Sekarang dengan berbagai program-program besar, sementara revenue-nya juga tidak ketahuan prospeknya, ditambah lagi dengan subsidi BBM yang meningkat, tentunya tekanan fiskal ini cukup mengkhawatirkan," katanya.
Masalahnya, lanjut Yose, pemerintah saat ini cenderung tidak memiliki keberanian politik untuk melakukan penyesuaian harga BBM. Ia menyebut, sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo, niat untuk menyesuaikan subsidi BBM memang sempat ada, namun tak kunjung dijalankan.
"Sudah hampir 9 bulan administrasi, Presiden Prabowo tidak berani melakukan itu. Administrasi ini kan ingin menyenangkan semuanya. Jadi pilihan-pilihan yang ada terbatas," tuturnya.
Pemerintah bisa saja menahan inflasi dengan kebijakan moneter yang lebih ketat. Namun hal itu juga bertentangan dengan keinginan pemerintah yang justru ingin menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan.
"Trade-off-nya adalah inflasi kita mungkin meningkat. Atau kalau tidak, ini akan tercermin di dalam nilai tukar kita yang semakin melemah. Semakin mahal juga impor kita," terang Yose.
Lebih jauh, penutupan Selat Hormuz bisa memicu disrupsi rantai pasok global. Menurut Yose, bukan hanya lalu lintas di Teluk yang terganggu, tetapi juga 20 lebih titik rawan (choke points) lain dalam perdagangan dunia bisa terdampak.
Dalam kondisi tersebut, Indonesia tidak memiliki banyak pilihan untuk mengandalkan kekuatan domestik. Sebab konsumsi dalam negeri yang selama ini menjadi andalan justru sedang lemah. "Domestik ekonomi itu tidak bisa menjadi escape clause. Sekarang pun di dalam negeri juga melemah. Jadi pilihan memang tidak terlalu banyak. Mundur kena, maju kena," pungkas Yose. (E-3)