
SEJUMLAH anak di SD Negeri 5 Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur, Banyumas, Jawa Tengah, terlihat serius memperhatikan para relawan dari Lintang Academy pada akhir September lalu. Lintang Academy adalah sebuah organisasi nirlaba yang membangun sekolah Teknologi Informasi (IT) gratis di Baturraden, daerah lereng Gunung Slamet. Relawan literasi digital itu sengaja datang untuk memberikan motivasi dan pengenalan dunia digital yang sehat untuk anak-anak.
SD Negeri 5 Arcawinangun merupakan sekolah inklusif yang hampir setengah dari sekitar 90 siswa lebih merupakan penyandang disabilitas, seperti down syndrome (DS), tunadaksa, slow learner, speech delay, dan lainnya. Tetapi ketika dikenalkan bagaimana membuat gim sederhana, mereka sangat bersemangat.
“Ternyata asyik sekali. Kami dikenalkan bagaimana membuat konten atau gim. Selama ini, kita tahunya kan medsos,” ungkap Kiki, salah seorang siswa SD setempat.
Sementara Kepala SDN 5 Arcawinangun, Aminah Agustina, mengapresiasi kedatangan para relawan dari Lintang Academy Baturraden yang telah mengenalkan dunia digital yang sehat kepada anak-anak di sekolahnya.
“Apalagi, dari 96 siswa, 56 murid di antaranya merupakan anak berkebutuhan khusus. Sebagai sekolah inklusi, tentu kami sangat berterima kasih karena mereka juga dapat mengenal dunia digital yang sehat dan aman bagi anak-anak,” katanya.
Founder Lintang Academy Baturraden, Selastio Fadli, mengatakan kedatangannya ke SD Negeri 5 Arcawinangun merupakan bagian dari kepedulian mereka terhadap internet ramah anak dan tentu saja aman bagi mereka.
“Selama ini, barangkali kalau mengenal smartphone, hanya isinya gim atau scrolling TikTok atau nonton YouTube. Nah, kami datang ingin berbagi, bahwa anak-anak tidak hanya sebagai user, tetapi mereka bisa kok menjadi pembuat gim atau aplikasi. Tentu dimulai dari yang paling sederhana,” kata Fadli, panggilan akrabnya, kepada Media Indonesia pada Minggu (12/10).
Menurut Fadli, tim sengaja datang ke sekolah yang istimewa itu untuk memberikan pemahaman bahwa gawai tidak hanya untuk bermain atau menonton medsos semata, karena dapat dijadikan alat untuk hal-hal yang lebih positif dan produktif.
“Kami sangat senang bisa berbagi kepada siswa. Bahkan sebetulnya untuk para guru juga diperlukan, khususnya bagaimana para guru mengedukasi anak untuk berinternet secara bijak,” katanya.
Hal yang dapat diterapkan oleh guru adalah menggunakan aplikasi Family Link yang disediakan oleh Google.
“Kami memberikan usulan, misalnya saja orangtua dan guru-guru juga memiliki aplikasi Family Link. Kontrol orangtua dan guru kepada para siswa, sehingga dapat melakukan pembatasan jam operasional gawai serta mengelola aplikasi yang diunduh oleh anak,” kata Fadli.
Fadli mengaku prihatin dengan kondisi kekinian, karena banyak orangtua yang kemudian tidak terlalu peduli anak-anak bermain gim atau membuka situs apa saja.
“Anak-anak terpapar begitu rupa, bahkan yang lebih ironis lagi, orangtua memberikan smartphone itu supaya anak tidak rewel. Kalau terus dibiarkan tentu berbahaya. Maka perlu langkah bersama-sama, salah satunya yang sudah dilakukan di akademi kami,” lanjut Fadli.
Pembekalan untuk Orangtua
Salah seorang pengajar di Lintang Academy, Audi Ponti Muaya, 33, mengatakan bahwa peserta didik di Lintang Academy merupakan para pemuda berusia 18-35 tahun.
“Ada bapak-bapak dan ibu-ibu muda yang ikut serta pendidikan di Lintang Academy. Salah satu materi dasar dan penting yang kami berikan kepada mereka adalah bagaimana menggunakan tools untuk mengelola akses anak-anak di rumah,” katanya.
Menurutnya, ia tidak hanya memberikan pengajaran saja, melainkan sudah mempraktikkan. “Biasanya, kalau yang mengajar belum mempraktikkan, kadang masih dipandang sebelah mata. Kebetulan saya mengajar sambil menceritakan pengalaman saya menggunakan Family Link dari Google untuk membatasi aktivitas anak dengan gawai. Apalagi, anak saya yang masih berusia 6 tahun ada di Bekasi, sehingga tidak setiap hari bertemu. Tetapi saya bisa mengendalikan dari jauh lewat aplikasi tersebut,” katanya.
Yang dapat diatur melalui fitur-fiturnya beragam, misalnya membatasi jam operasional gawai serta memblokir aplikasi-aplikasi yang sekiranya berbahaya karena belum sesuai dengan usia anak-anak.
“Inilah yang kemudian kami sampaikan kepada peserta di Lintang Academy. Kalau yang muda-muda, nantinya mereka kami siapkan untuk menjadi mentor di desa mereka masing-masing ketika selesai pendidikan,” jelas Ponti.
Ia mengatakan bahwa orangtua tidak bisa melawan perkembangan teknologi yang terus maju pesat. Yang dibutuhkan adalah adaptasi terhadap kemajuan teknologi.
“Orangtua harus terus relate dengan perkembangan teknologi, terutama bapak atau ibu muda yang masih memiliki anak-anak kecil. Jangan sampai dibiarkan dan mereka terpapar seluruh konten yang ada di internet, karena tidak semua cocok dan sesuai dengan usia mereka. Cara yang kami tempuh adalah meningkatkan literasi digital orangtua,” ungkapnya.
Pengalaman peserta didik Lintang Academy, Alia Rahmatin, 34, warga Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, mengakui dampak positifnya. Dengan belajar di Lintang Academy, tidak saja mendapatkan ilmu baru terkait dengan coding dan pemrograman, namun juga literasi digital.
“Sebagai seorang ibu yang tinggal di desa dan punya anak masih berusia 7 tahun, saya akhirnya bisa memberikan gambaran mengenai dunia maya. Ini penting, supaya anak saya tidak terjebak pada konten-konten negatif. Apalagi, iklan judol atau konten dewasa kadang muncul di beberapa situs, terutama gim. Dengan adanya literasi digital di sini, saya jadi bisa mengontrol anak saya,” jelas perempuan yang setiap harinya harus naik motor 15 km untuk mengikuti pertemuan di Lintang Academy.
Tak hanya Alia, ibu lainnya bernama Herni, 34, warga Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, menceritakan pengalamannya dalam mendidik anaknya yang berusia 7 tahun dan 5 tahun.
“Anak sekarang tidak mungkin dilarang, kan, karena teman-temannya main gim semua. Yang dapat saya lakukan adalah mengontrol waktu bermain serta memantau agar tidak terpapar konten negatif seperti judol dan konten dewasa,” katanya.
Sementara Fitri, 35, berbeda lagi pendekatannya kepada anaknya yang sudah kelas 11 SMA. Karena anaknya remaja, maka Fitri mengajari anaknya untuk membuat coding.
“Kebetulan saya sedikit-sedikit sudah bisa, sehingga saya mengajari anak saya. Awalnya memang memusingkan, tapi lama-lama mengasyikkan. Saya katakan, jangan hanya main gim saja, tetapi bagaimana kamu malah bisa membuat gim. Dengan begitu, dia tidak hanya main gim atau scrolling media sosial saja,” tambahnya.
Cerdas Digital
Lintang Academy yang berada di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, Banyumas, baru dimulai awal tahun 2025. Sebelumnya, Fadli dan teman-temannya mendirikan lembaga pendidikan IT gratis di Jakarta dengan nama Jvlley Bootcamp. Sudah ada 16 angkatan yang dididik tanpa biaya.
“Kami ingin tantangan baru dengan membuka kelas gratis di luar Jakarta. Kami mengupayakan pendidikan IT, khususnya untuk anak-anak di desa. Baturraden menjadi pilihan lokasi akademi setelah ada beberapa alternatif di Jawa Barat dan Banten. Baturraden itu berada di lereng gunung, sejuk dan tenang. Tetapi infrastruktur internet sangat baik, bisa sampai kecepatan 300 Mbps. Sangat cocok untuk pendidikan IT,” kata Fadli.
Pada saat pindah ke Baturraden, pihaknya membuka kesempatan bagi warga berusia 18-35 tahun untuk mendaftarkan diri. Ia terkejut karena ada 500 orang yang mendaftar, padahal ruangan hanya cukup untuk 100 orang saja. “Kami mulai dari Januari dan pada Oktober ini, peserta pelatihan sudah mengerjakan tugas akhir membuat aplikasi. Jadi, kami memang ingin mendidik mereka supaya memanfaatkan internet untuk hal-hal yang positif,” ungkap Fadli.
Fadli mengatakan desa menjadi sasaran karena ia sangat tahu bahwa untuk mendapatkan materi dan pelatihan IT biayanya tidak sedikit.
“Biaya pendidikan IT bisa mencapai Rp2,5 juta hingga puluhan juta. Kalau itu diterapkan, bagaimana mereka mau membiayai? Apa harus menjual kebun atau sawah? Nah, kami hadir dengan memberikan materi dan pelatihan secara gratis. Untuk para pengajar memang relawan. Tetapi saya dan teman-teman bekerja sebagai konsultan atau ahli IT di perusahaan-perusahaan, jadi tidak masalah kalau tidak ada honor,” ujarnya.
Menjadi Problem Solver
Selama sembilan bulan, Lintang Academy mendidik mereka menjadi programmer atau ahli IT sehingga nantinya mereka bisa bekerja di dunia digital. Bahkan, tidak perlu ke luar kota, cukup dari Banyumas dan sekitarnya, namun bisa mengerjakan pekerjaan dari mana saja.
“Dari yang paling dasar adalah literasi digital. Ini penting sekali supaya mengetahui dunia digital baik yang bermanfaat maupun berbahaya. Kemudian kami juga mendidik mereka sebagai problem solver. Tidak hanya sebagai programmer, tetapi bagaimana mereka mampu menyelesaikan masalah melalui teknologi digital. Nyatanya, sekarang sudah ada yang membikin aplikasi pendataan desa secara digital serta aplikasi Makan Bergizi Gratis (MBG). Sekarang lagi running,” katanya.
Setelah mereka selesai, para peserta didik Lintang Academy akan kembali ke desa mereka masing-masing.
“Nah, tugas sosial yang diemban mereka adalah menjadi mentor di desa mereka, sekaligus memberikan edukasi mengenai dunia digital. Jangan sampai ilmunya mandek. Mereka harus membagikan pengetahuannya kepada anak-anak, remaja, dan pemuda, salah satunya terkait dengan keamanan digital. Termasuk para orangtua untuk memberikan pendidikan digital yang baik kepada anak-anaknya,” tambahnya.
Apa yang dilakukan Fadli bersama Lintang Academy sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 itu menjadi dasar hukum bagi negara untuk menghadirkan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan.
Dalam pernyataannya, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyatakan bahwa PP TUNAS adalah respons strategis pemerintah untuk mengatasi persoalan ini secara sistematis. PP TUNAS secara khusus mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten yang berpotensi membahayakan anak-anak. Kemudian, PSE juga wajib memverifikasi usia pengguna dan menerapkan pengamanan teknis yang dapat memitigasi risiko paparan konten negatif.
Sosiolog Fisip Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yang juga pemerhati anak dan perempuan, Tri Wuryaningsih, mengatakan salah satu hal terpenting adalah mendidik seluruh elemen agar mengerti dan cerdas digital. Menurutnya, untuk anak usia SD masih bisa dibatasi konten-konten tidak boleh diakses. Namun, untuk anak SMP dan SMA tentu akan semakin sulit, apalagi jika orangtua mereka tidak mengikuti perkembangan teknologi.
“Karena itulah, pendekatannya jadi berbeda. Anak yang sudah SMP dan SMA perlu diajak berdiskusi terkait dengan keamanan ruang digital. Namun demikian, orangtua dan guru juga perlu cerdas digital. Artinya, guru di sekolah dan orangtua di rumah bisa mengimbangi literasi digitalnya,” jelasnya.
Proses literasi digital, lanjutnya, dapat dilakukan saat program parenting. Zaman sekarang, parenting tidak hanya sebatas cara pengasuhan yang positif semata, tetapi orangtua dan guru juga perlu beradaptasi. “Salah satunya adalah adaptasi terhadap teknologi, sehingga ketika anak SMP dan SMA, diskusi dengan orangtua masih relate,” ujarnya.
Perlu peran serta seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menjaga ruang aman digital, khususnya untuk anak-anak, para calon pemimpin masa depan. (E-4)