
WAHANA antariksa Cassini milik NASA telah beberapa kali melintasi semburan uap air yang menyembur dari bawah permukaan es Enceladus, bulan Saturnus. Hal itu memungkinan para ilmuwan meneliti sifat kimia air laut.
Temuan terbaru mengungkap bahwa samudra tersebut memiliki pH sangat tinggi, alias bersifat basa, yang menciptakan kondisi unik bagi kemungkinan kehidupan mikroba.
“Lingkungannya memang sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk dihuni,” ujar Dr. Christopher Glein, ilmuwan bidang dunia samudra luar angkasa dari Southwest Research Institute (SwRI) di San Antonio, kepada Space.com.
Penemuan Tak Terduga dari Semburan ‘Tiger Stripes’
Cassini pertama kali menemukan semburan uap air dari retakan besar di kutub selatan Enceladus, yang dikenal sebagai tiger stripe, tahun 2005. Meski awalnya tidak dirancang untuk meneliti material dari semburan ini, dua instrumennya, yaitu Cosmic Dust Analyzer dan Ion and Neutral Mass Spectrometer, mampu “mencicipi” sebagian partikel saat terbang lintas dekat.
“Kami bahkan tidak menduga akan menemukan lautan layak huni,” kata Glein. “Cassini benar-benar melampaui misi aslinya.”
Data dari Cassini hingga kini menjadi sumber terbaik dalam mempelajari bulan-bulan samudra di tata surya luar. Dengan pemodelan geokimia, Glein dan rekan penelitinya, Ngoc Truong, berhasil memperkirakan pH samudra di bawah lapisan es Enceladus berkisar antara 10,1 hingga 11,6—jauh lebih basa dibandingkan samudra Bumi yang berada di angka sekitar 8.
Sifat Basa dan Implikasinya untuk Kehidupan
pH adalah ukuran keasaman atau kebasaan, di mana 1 sangat asam, 14 sangat basa, dan 7 netral. Nilai pH Enceladus yang tinggi ini diperkirakan berasal dari reaksi antara air dan batuan silikat yang mengandung besi, magnesium, dan natrium di dasar samudra. Proses ini menghasilkan natrium hidroksida (NaOH) yang bereaksi dengan karbon dioksida, meningkatkan kadar alkalinitas air.
“Dengan kondisi seperti ini, mineral seperti kalsium fosfat sangat larut—bahkan gigi Anda bisa larut di lautan Enceladus,” canda Glein.
Namun, kealkalian tinggi bisa menjadi tantangan bagi kehidupan karena dapat merusak struktur biologis seperti polimer. Meski demikian, mikroba ekstremofil di Bumi yang disebut alkalifil terbukti mampu bertahan dalam lingkungan serupa.
Lebih lanjut, interaksi air dan batuan di Enceladus juga menghasilkan mineral dan ion penting seperti natrium, klorida, karbonat, amonia, dan kalium yang bisa menjadi sumber energi bagi mikroorganisme. Kondisi ini bahkan memberi petunjuk tentang lokasi potensial kehidupan—yakni di dasar laut.
“Dalam pH tinggi, logam seperti besi menjadi kurang larut, sehingga mungkin langka di air,” jelas Glein. “Tapi mikroba bisa bertahan di dasar laut dengan ‘menambang’ mineral langsung dari batuan. Kami menduga biofilm mikroba bisa tumbuh di sana.”
Mirip dengan ‘Lost City’ di Samudra Atlantik
Salah satu temuan menarik lainnya adalah kandungan tinggi hidrogen molekuler (H2) dalam semburan. Hal ini mengingatkan pada lingkungan ventilasi hidrotermal di dasar Samudra Atlantik yang dikenal sebagai “Lost City”, di mana H? menjadi sumber energi kimia bagi kehidupan mikroba di Bumi.
“Di Lost City, kehidupan bertahan berkat pasokan energi dari hidrogen. Hal serupa bisa terjadi di Enceladus,” tambah Glein.
Menanti Misi Khusus ke Enceladus
Meskipun komposisi lengkap lautan Enceladus masih berupa prediksi, hasil Cassini menunjukkan bahwa hanya dengan terbang melintasi semburan, kita sudah bisa memperoleh banyak informasi. Saat Cassini diluncurkan pada 1997, semburan tersebut bahkan belum diketahui, sehingga wahana itu tidak membawa instrumen khusus untuk menganalisisnya secara rinci.
“Bayangkan jika kita kembali ke sana dengan misi khusus dan teknologi terkini,” kata Glein dengan antusias. “Lautan Enceladus benar-benar surga geokimia yang menanti untuk dijelajahi.” (Space/Z-2)