
IKATAN Advokat Indonesia (Ikadin) telah menyerahkan masukan tertulis dengan 130 daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada pemerintah dan DPR RI. Hal ini terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Ikadin mendorong terwujudnya hukum acara yang modern dan menjawab tantangan zaman sehingga praktik penegakan hukum ke depan akan lebih baik. Demikian dikatakan Koordinator Tim Kajian RUU KUHAP Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikadin, Rivai Kusumanegara, dalam keterangannya, Selasa (6/5).
Menurut Rivai, pihaknya memberikan sejumlah masukan terhadap RUU KUHAP kepada pemerintah dan DPR selaku pengusul RUU tersebut. Dari berbagai usulan yang disampaikan terdapat beberapa masukan menarik, seperti adanya kewajiban penyidik untuk memberikan pinjam pakai terhadap barang sitaan dari korban atau pihak yang memiliki benda sitaan secara sah segera setelah penyidik melakukan penyitaan.
Dia menjelaskan, pinjam pakai tersebut bersifat otomatis layaknya konsep fidusia, selama ini misalnya korban pencurian tidak dapat menggunakan barangnya karena setelah ditemukan kemudian disita penyidik sebagai barang bukti. Sementara penyidik sendiri memiliki keterbatasan dalam merawat benda sitaan sehingga saat dikembalikan sering dalam keadaan rusak.
Dengan pinjam pakai yang bersifat otomatis, sambung dia, maka korban tetap dapat menggunakan barang yang disita dengan ketentuan sementara waktu tidak dapat mengalihkan benda sitaan dan sewaktu-waktu wajib menunjukan benda sitaan jika dibutuhkan penyidik, penuntut umum ataupun hakim.
Masukan menarik lainnya terlihat dalam penjelasan Pasal 5 Ayat (1) huruf d RUU tentang kewenangan penyelidik lainnya. Ikadin mengusulkan agar kewenangan dimaksud tidak disalahartikan maka sebaiknya dibuat penjelasan terkait larangan membuka ponsel, laptop, dan benda pribadi lainnya sepanjang belum ditemukannya bukti awal tindak pidana.
Larangan pembukaan alat komunikasi bertujuan untuk menghormati privasi setiap orang, sebagaimana beberapa waktu lalu pernah dikeluhkan masyarakat saat razia di jalan dan menjadi viral.
Berikutnya, menurut Rivai, diusulkan pula pengaturan penggunaan senjata api dan garis batas polisi (police line) dalam RUU ini. Kedua kewenangan itu termasuk upaya paksa dan perlu diatur pelaksanaannya, selain dapat diuji melalui praperadilan.
Demikian juga dampak penyalahgunaan senjata api jauh lebih berat dibanding penyitaan ataupun penahanan. Sehingga ke depan korban salah tembak dapat mengajukan tuntutan melalui praperadilan. “Untuk penggunaan senjata api, kami usulkan mengikuti Perkapolri 10/2009 dan dijadikan rumusan KUHAP,” kata Rivai.
Adapun terkait penyidikan, Ikadin mengusulkan berlangsung selama-lamanya dua tahun agar terdapat kepastian bagi status tersangka seseorang maupun benda yang disita. Waktu dua tahun merujuk pada undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga membatasi dua tahun penyidikan.
Demikian juga pemeriksaan seseorang diusulkan selamanya 8 jam dengan kesempatan ishoma (istirahat, salat, makan) dan sedapatnya dilakukan pada jam kerja. Itu untuk menghindari terjadinya kekerasan pada terperiksa karena disaksikan rekan dan atasan penyidik. Di sisi lain, agar stamina terperiksa masih terjaga dengan mempertimbangkan jam kerja yang berlaku saat ini.
Terhadap pemeriksaan kaum disabilitas juga diusulkan agar dapat didampingi perawat atau keluarga guna memudahkan komunikasi dengan penyidik selain ketenangan batin terperiksa.
Mengenai kewenangan penyadapan, imbuhnya, agar dibatasi pada tindak pidana dengan ancaman empat tahun ke atas. Sehingga untuk perkara ringan tidak diperlukan penyadapan, pembatasan ini juga bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Ikadin juga mengusulkan agar salinan BAP (berita acara pemeriksaan) diberikan kepada saksi dan ahli, dengan pertimbangan transparansi penyidikan dan sebenarnya isi BAP tersebut adalah keterangan mereka sendiri.
Diusulkan juga pengaturan tentang hak pihak ketiga untuk mengajukan praperadilan. Di mana pemilik rumah kontakan atau rental mobil dapat memohonkan pelepasan sita atau diberikan pinjam pakai karena tidak berkaitan dengan penyewa yang melakukan tindak pidana. “Hak pihak ketiga itu termasuk bagi LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang hendak menguji penghentian penyidikan tipikor,” ujar Rivai.
Dalam penguatan peran advokat, Ikadin mengusulkan dilibatkannya advokat dalam gelar atau ekspos perkara. Diharapkan dengan pelibatan tersebut, advokat dapat memahami keputusan yang diambil dan diharapkan dapat menekan banyaknya praperadilan.
Selain itu, advokat juga dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan penyidik atas perpanjangan penahanan pada jaksa atau izin penyitaan pada hakim.
Selama ini perpanjangan penahanan maupun izin penyitaan tersebut selalu dikabulkan dan terkesan formalitas saja. Sehingga fungsi check and balance dari aparat penegak hukuk (apgakum) lainnya kurang berjalan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan perumusan ketentuan tersebut.
“Dengan dibukanya upaya keberatan advokat diharapkan menimbulkan kehati-hatian bagi jaksa dan hakim dalam menyikapi permohonan penyidik,” pungkasnya. (P-2)