
PEMERINTAH membutuhkan strategi nasional yang tepat dalam pengelolaan kekayaan alam (natural resources) di tengah dinamika ketegangan geopolitik sehingga berorientasi pada kesejahteraan dan distribusi kesejahteraan. Kegagalan Indonesia mengelola sumber daya alam dan mendistribusikan kesejahteraan dapat membuat kekayaan alam menjadi bencana alam dan bencana politik.
Demikian antara lain disampaikan sejarawan dan Indonesianis Greg Poulgrain dalam GREAT Lecture yang diselenggarakan GREAT Institute di kantor lembaga think tank itu di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/5).
Menurut catatan Poulgrain, sumber alam yang melimpah Indonesia selalu menjadi pusat dari pertarungan kepentingan global. Bukan hanya antara Blok Barat dan Blok Timur, tetapi juga antara kelompok kepentingan di masing-masing negara, seperti antara Presiden John F. Kennedy dan Direktur Central Intelligent Agency (CIA) Allen Dulles khususnya terkait kekayaan alam di Papua.
Ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua, misalnya, menurut Greg seringkali dipicu oleh kegagalan distribusi kesejahteraan karena hasil dari pengelolaan kekayaan alam Papua menumpuk pada pihak-pihak tertentu.
Sebagai penutup, Poulgrain menekankan pentingnya pendekatan komprehensif yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan budaya dalam pengelolaan sumber daya dan perlunya visi jangka panjang, kerja sama internasional, dan tata kelola yang bertanggung jawab demi kesejahteraan bangsa.
Poulgrain yang merupakan pengajar di sejumlah universitas di Australia melakukan penelitian ekstensif sejarah Indonesia khususnya di masa-masa puncak Perang Dingin. Poulgrain telah menerbitkan tiga buku terkait tema ini, ketiganya adalah “The Incubus of Intervention” (2015), “Genesis of Konfrontasi” (2019) dan “JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia” (2020). Satu buku lagi yang sedang dipersiapkannya berjudul “The Curse of Gold”.
Dua penanggap utama dalam GREAT Lecture yang dibuka Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, ini adalah Sidratahta Mukhtar dan Zarmansyah.
Diskusi yang dimoderatori peneliti GREAT Institute Omar Thalib dihadiri kalangan akademisi dan politisi, antara lain Indra Wardhana dari Pertamina University, Faisal Nurdin dan Rahmi Fitryani dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, peneliti isu Kashmir dari Belanda Laura Schuurmans, mantan Duta Besar Indonesia untuk Mesir, Helmy Fauzy, politisi Golkar Poempida Hidayatulloh, dan politisi Partai Demokrat Nurhayati Assegaf, serta Jeremy Kight Diplomat dari Kedutaan Besar Amerika.
Dari kalangan pemerintah hadir Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Abdullah Rasyid, Staf Ahli Menteri Agama Prof. Iswandisyah Syahputra, dan Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer. Poppy Dharsono dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) juga tampak hadir.
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, ketika membuka diskusi mengatakan, “kutukan sumberdaya alam” seperti yang dialami Indonesia di masa lalu, dapat dikendalikan jika pemimpin Indonesia mempunyai leadership dan nasionalisme yang tinggi.
“Di era Prabowo, apa yang selama ini disebut sebagai ‘kutukan sumberdaya alam’ diharapkan menjadi rahmat untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Syahganda.
Senada dengan Syahganda, Direktur Geopolitik GREAT Institute, Teguh Santosa, menambahkan, di tengah dinamika politik global belakangan ini yang ditandai perang dagang antara AS dan China, pemerintah Indonesia terlihat ingin menciptakan kemandirian berorientasi kepentingan nasional dan di saat bersamaan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat.
“Bila prinsip ini juga diterapkan dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan diikuti dengan distribusi kesejahteraan yang adil, maka sumber daya alam tidak akan menjadi sumber bencana alam dan bencana politik,” demikian Teguh saat menutup diskusi. (Cah/P-3)