
SALMON yang lahir di aliran sungai yang tenang, menempuh perjalanan berbahaya ke laut lepas. Selama jutaan tahun, generasi demi generasi salmon muda telah bermigrasi jauh, dalam beberapa kasus menempuh ratusan mil dari perairan tawar ke laut. Kini salmon menghadapi hambatan dibandingkan leluhurnya: polusi farmasi yang mengubah perilaku migrasi mereka.
Baru-baru ini, para peneliti menemukan ketika obat bernama clobazam terakumulasi di otak salmon, ikan yang bermigrasi mencapai laut lebih cepat dan mampu menavigasi rintangan bendungan dengan lebih gesit. Sekilas, perubahan ini tampak membantu salmon.
Namun, setiap penyimpangan dari perilaku alami hewan akibat aktivitas manusia merupakan sinyal bahaya. Sejauh mana polusi obat ini dapat mengubah kesehatan, perilaku, dan reproduksi salmon masih belum sepenuhnya diketahui, menurut laporan ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Science.
Clobazam, yang umum ditemukan di air limbah, termasuk dalam kelompok obat benzodiazepine, yang menekan sistem saraf pusat. Obat ini digunakan mencegah kejang epilepsi, pengobatan jangka pendek kecemasan, dan gangguan tidur terkait kecemasan. Karena susunan saraf ikan mirip dengan mamalia, ikan sangat rentan terhadap efek obat yang memengaruhi neurokimia manusia, kata Dr. Christopher C. Caudill, profesor di departemen ilmu perikanan dan satwa liar di Universitas Idaho.
“Manusia memiliki banyak kesamaan dalam struktur biologis dengan ikan — fisiologi dan anatomi kita sangat mirip. Jadi, wajar jika obat psikoaktif mengubah perilaku baik pada ikan maupun manusia,” ujar Caudill, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya menunjukkan benzodiazepine dapat mengubah perilaku salmon Atlantik (Salmo salar), tetapi penelitian tersebut dilakukan dalam kondisi laboratorium yang tidak mencerminkan situasi alami, kata Dr. Marcus Michelangeli, dosen di School of Environment and Science, Griffith University, Queensland, Australia.
“Studi sebelumnya umumnya dilakukan di laboratorium, hanya melacak pergerakan dalam jarak pendek — kurang dari 100 meter — atau menggunakan konsentrasi obat jauh lebih tinggi daripada yang biasanya ditemui salmon di alam liar,” kata Michelangeli.
“Penelitian kami mengambil pendekatan berbeda. Kami mengikuti seluruh migrasi dari sungai ke laut salmon muda dalam sistem sungai alami, menggunakan konsentrasi obat yang sesuai dengan paparan di lingkungan.”
Terus berenang
Dalam studi baru ini, para ilmuwan menguji lebih dari 700 salmon muda, atau smolt, baik di laboratorium maupun di lapangan. Mereka menggunakan tag pemancar suara untuk melacak smolt secara jarak jauh pada 2020 dan 2021 saat ikan-ikan ini menyusuri Sungai Dal di Swedia tengah.
Smolt bermigrasi menyusuri sungai ke sebuah waduk, melewati jeram, dan melintasi dua bendungan sebelum akhirnya mencapai Laut Baltik. Perjalanan ini memakan waktu 10 hingga 13 hari.
Dua kelas utama obat-obatan — benzodiazepine dan opioid — “umumnya terdeteksi di sungai dan aliran di seluruh dunia, termasuk di Swedia, tempat penelitian ini dilakukan,” kata Michelangeli.
Implan pelepas waktu dipasang pada smolt untuk memberikan dua obat dari kelas tersebut: clobazam dan tramadol. Ikan menerima clobazam, tramadol, atau keduanya. Kelompok kontrol menerima implan tanpa kandungan obat.
“Kedua obat ini diketahui bereaksi secara kimia saat dikonsumsi bersama pada manusia, dan keduanya sering ditemukan bersamaan di lingkungan,” jelas Michelangeli. “Ini menjadikannya kasus uji yang baik untuk mengeksplorasi bagaimana campuran farmasi dapat memengaruhi perilaku hewan.”
Selain uji lapangan, peneliti juga melakukan studi laboratorium terhadap 256 smolt untuk memastikan implan berfungsi dan obat tetap ada dalam jaringan tubuh serta otak ikan. Hasil pelacakan menunjukkan salmon yang terpapar clobazam lebih banyak yang mencapai Laut Baltik dibanding kelompok lain. Dibanding kelompok kontrol, lebih dari dua kali lipat salmon yang diberi clobazam berhasil sampai ke laut.
Eksperimen laboratorium juga menunjukkan bahwa clobazam memengaruhi perilaku shoaling, yaitu ketika smolt berenang berdekatan untuk menghindari predator. Di bawah pengaruh clobazam, ikan berenang lebih berjauhan bahkan saat predator mendekat, “menunjukkan bahwa obat ini dapat mengurangi respons ketakutan alami,” kata Michelangeli.
Lebih berani, tapi lebih berisiko
Ikan dengan implan clobazam juga lebih cepat melewati dua bendungan pembangkit listrik tenaga air di sepanjang jalur migrasi mereka. Bendungan ini dikenal sebagai zona maut, di mana turbin dapat dengan cepat menghancurkan smolt menjadi potongan-potongan kecil.
Dengan mengurangi rasa takut pada smolt, clobazam mungkin memberi manfaat sesaat dengan meningkatkan keberhasilan migrasi mereka. Namun, obat ini juga bisa meningkatkan kerentanan terhadap predator laut, yang pada akhirnya menurunkan kemungkinan mereka bertahan hidup dan kembali ke hulu untuk bertelur, kata Caudill.
“Transisi dari air tawar ke air asin adalah masa paling berbahaya dalam kehidupan salmon karena mereka akan menghadapi banyak predator baru di laut,” jelasnya. Salmon yang terpapar obat dan cenderung mengambil risiko mungkin lebih mungkin mencapai Baltik, tetapi juga lebih mungkin tidak pernah kembali lagi.
Penelitian Caudill menyelidiki bagaimana perubahan lingkungan memengaruhi ekologi dan evolusi ikan. Ia mengatakan akan mempertimbangkan efek perilaku dari polusi farmasi dalam penelitian selanjutnya.
Studi lanjutan akan menjelaskan bagaimana perubahan perilaku akibat polusi obat memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang, reproduksi, dan perubahan populasi dari waktu ke waktu — baik pada salmon maupun satwa liar lain yang rentan terhadap kontaminan farmasi.
“Meskipun lebih banyak salmon yang terpapar obat mungkin berhasil mencapai laut, bukan berarti mereka sehat atau populasinya akan mendapat manfaat dalam jangka panjang,” ujar Michelangeli.
“Intinya adalah kita perlu berhati-hati dalam menafsirkan hal ini. Mengubah perilaku dengan obat-obatan — meskipun tidak sengaja — dapat membentuk ulang populasi secara keseluruhan dengan cara yang belum kita pahami sepenuhnya.” (CNN/Z-2)