
PERUSAHAAN media milik mantan Presiden Donald Trump menggugat seorang hakim Mahkamah Agung Brasil dalam kasus yang melibatkan kebebasan berpendapat menurut Amandemen Pertama AS, hukum internasional, dan politik dalam negeri Brasil.
Trump Media and Technology Group, yang mengelola platform media sosial Truth Social, bekerja sama dengan perusahaan media sosial berhaluan konservatif Rumble untuk menggugat Alexandre de Moraes, hakim Mahkamah Agung Brasil yang sedang mempertimbangkan kemungkinan perintah penangkapan terhadap mantan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, atas dugaan upaya kudeta.
Trump Media dan Rumble menuduh Moraes melanggar Amandemen Pertama AS dengan memerintahkan penutupan atau penghapusan akun media sosial Rumble milik seorang komentator Brasil berhaluan kanan yang berbasis di AS dan pendukung Bolsonaro di seluruh platform, termasuk di semua negara.
Meskipun Moraes bukan warga negara AS dan tidak berbasis di Amerika Serikat, gugatan ini diajukan di Florida karena Trump Media dan Rumble ingin hakim AS menyatakan perintah Moraes tidak dapat diberlakukan di AS.
“Memungkinkan Hakim Moraes membungkam seorang pengguna vokal di platform digital Amerika akan membahayakan komitmen mendasar negara kita terhadap perdebatan yang terbuka dan dinamis,” bunyi gugatan tersebut. “Baik perintah dari luar negeri maupun penyalahgunaan wewenang yudisial dari luar tidak dapat mengesampingkan kebebasan yang dilindungi oleh Konstitusi dan hukum AS.”
Meskipun platform media sosial Trump tidak menjadi target langsung perintah Moraes terhadap komentator Brasil, Truth Social bergantung pada infrastruktur Rumble untuk operasionalnya. Oleh karena itu, perusahaan berargumen bahwa apa pun yang mempengaruhi Rumble juga akan berdampak pada Truth Social.
“Jika tindakan Hakim Moraes hanya terbatas di Brasil, itu tetap disayangkan dan kemungkinan tidak berada dalam ranah pengadilan AS,” lanjut gugatan tersebut. “Namun, banyak tindakan Hakim Moraes, termasuk perintah larangan ilegal yang dipermasalahkan di sini, secara langsung menyentuh Amerika Serikat dengan memaksa perusahaan-perusahaan AS yang tidak memiliki kehadiran di Brasil untuk bertindak, yang akhirnya akan menekan kebebasan berbicara tidak hanya di Brasil, tetapi juga di AS dan seluruh dunia.”
Ketua Trump Media, Devin Nunes, dalam pernyataannya pada Rabu (19/2) mengatakan perusahaan berkomitmen untuk menegakkan hak atas kebebasan berekspresi.
“Ini bukan sekadar slogan, tetapi misi utama perusahaan ini,” ujarnya. “Kami bangga bergabung dengan mitra kami, Rumble, untuk melawan tuntutan penyensoran politik yang tidak adil, siapa pun yang mengajukannya.”
Gugatan ini diajukan hanya sehari setelah mantan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro didakwa atas dugaan rencana kudeta untuk membatalkan hasil pemilu 2022 dan mencegah lawannya mengambil alih kekuasaan. Rencana tersebut diduga mencakup upaya pembunuhan terhadap Moraes, yang sebelumnya memblokir permintaan partai Bolsonaro untuk membatalkan hasil pemilu. Bolsonaro, yang membantah mengetahui rencana pembunuhan tersebut, menuduh Moraes melakukan persekusi politik terhadap dirinya serta menargetkan suara-suara konservatif dengan memerintahkan penutupan ratusan akun media sosial.
Moraes juga pernah berselisih dengan Elon Musk, pemilik X (sebelumnya Twitter) sekaligus salah satu pendukung besar Trump. Pada Agustus 2023, X sempat ditangguhkan di Brasil karena tidak mematuhi perintah pengadilan Moraes terkait moderasi ujaran kebencian dan kegagalan menunjuk perwakilan hukum di negara itu. Musk menyebut Moraes sebagai “diktator” dan mengecam perintahnya sebagai bentuk sensor. Namun, Musk akhirnya mematuhi keputusan pengadilan, sehingga X kembali beroperasi di Brasil pada Oktober 2023.
Daphne Keller, pakar hukum internet dari Universitas Stanford, mengatakan kepada CNN bahwa kasus Trump Media ini merupakan yang pertama dari jenisnya.
“Mereka meminta dua hal. Pertama, pengadilan mengonfirmasi perintah tersebut tidak dapat diberlakukan di Amerika Serikat,” ujar Keller. “Kedua, mereka ingin pengadilan AS memerintahkan seorang hakim Mahkamah Agung Brasil untuk tidak melakukan sesuatu—khususnya agar tidak meminta toko aplikasi menghapus Rumble dan Truth Social—sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya.”
Meskipun gugatan ini mengangkat isu menarik tentang hak Amandemen Pertama dan hukum global, Keller berpendapat kasus ini lebih bersifat simbolis, karena hukum AS tidak akan menegakkan perintah pengadilan asing.
“Ini lebih seperti aksi panggung untuk menciptakan kehebohan tentang kebebasan berbicara dan mengajukan gugatan yang sebenarnya tidak akan memberikan keuntungan apa pun,” katanya.
Keller menambahkan bahwa meskipun isu yang diangkat dalam gugatan ini penting—yakni upaya seorang hakim untuk memberlakukan pemblokiran global—pengadilan mungkin bukan forum yang tepat untuk menyelesaikannya.
“Saya tidak berpikir bahwa membawa kasus ini ke pengadilan AS adalah solusi. Dalam situasi normal, seharusnya ada respons diplomatik atau tindakan perdagangan … bukan melalui jalur hukum,” kata Keller. (CNN/Z-2)