
ANTIBIOTIK dikenal sebagai penyelamat dalam dunia medis—efektif melawan berbagai infeksi, dari flu hingga pneumonia. Namun, studi terbaru mengungkap sisi gelap dari penggunaannya yang berulang, khususnya pada anak usia dini.
Dipublikasikan di Journal of Infectious Diseases, penelitian ini melibatkan lebih dari satu juta bayi di Inggris yang kesehatannya dipantau hingga usia 12 tahun. Temuannya mengejutkan: paparan antibiotik sejak dini terbukti mengganggu keseimbangan mikrobiota usus, yang berujung pada meningkatnya risiko gangguan alergi seperti asma, alergi makanan, dan hay fever (alergi serbuk sari).
Yang lebih mengkhawatirkan, studi ini juga mengindikasikan potensi kaitan antara antibiotik dan gangguan perkembangan intelektual—meski temuan tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut.
“Antibiotik memang krusial dalam melawan infeksi bakteri. Namun, penggunaannya pada anak di bawah dua tahun harus sangat selektif, karena dampaknya bisa bertahan hingga jangka panjang,” jelas Daniel Horton, penulis utama studi dan profesor di Rutgers Robert Wood Johnson Medical School serta Rutgers School of Public Health.
Studi ini juga menggarisbawahi bahwa semakin sering antibiotik diberikan, semakin tinggi pula risikonya. Bahkan pada kasus saudara kandung—di mana satu anak terpapar antibiotik dan yang lain tidak—perbedaan risiko tetap konsisten. Ini memperkuat dugaan adanya pengaruh kausal.
Meski begitu, penelitian ini tidak menemukan kaitan signifikan antara antibiotik dan penyakit autoimun seperti celiac, radang usus kronis, atau artritis idiopatik juvenil. Demikian pula dengan gangguan perkembangan saraf seperti ADHD dan autisme, yang tidak menunjukkan korelasi kuat.
Horton menegaskan bahwa antibiotik tetap diperlukan dalam banyak situasi, tetapi tidak semua infeksi anak harus diobati dengan antibiotik. “Diagnosis yang tepat dan konsultasi medis adalah kunci untuk memastikan anak mendapatkan perawatan yang sesuai.” (Medical Daily/Z-10)