Penemuan Baru Tentang Tabrakan Lempeng India-Eurasia yang Membentuk Himalaya dan Potensi Gempa

22 hours ago 5
Penemuan Baru Tentang Tabrakan Lempeng India-Eurasia yang Membentuk Himalaya dan Potensi Gempa Penelitian terbaru mengungkap sebagian Lempeng India terbelah dan tenggelam ke dalam mantel bumi, memberi wawasan baru tentang pembentukan Himalaya dan potensi gempa.(The Economic Times)

PUNCAK-puncak tinggi Pegunungan Himalaya adalah medan pertempuran geologis, benturan lambat antara Lempeng Tektonik India dan Eurasia. Tabrakan ini dimulai sekitar 60 juta tahun lalu, saat India yang dulunya merupakan sebuah pulau, menabrak Eurasia. 

Tabrakan itu mendorong permukaan bumi dan membentuk pegunungan tertinggi di dunia. Namun, puncak-puncak itu hanyalah “asap dan suara” dari pertempuran yang sebenarnya; manuver tektonik yang terjadi puluhan kilometer di bawah permukaan bumi-lah yang menjadi penggerak utamanya dan masih menyimpan banyak misteri.

Berbeda dengan lempeng samudra yang padat, lempeng benua bersifat tebal dan ringan, sehingga tidak mudah tenggelam (atau tersubduksi) ke dalam mantel bumi saat bertabrakan. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa Lempeng India menolak untuk tenggelam dan terus meluncur secara horizontal di bawah Tibet. 

Ada juga yang berpendapat bagian paling ringan dari Lempeng India justru terlipat, seperti karpet di tepi tabrakan. Sehingga memudahkan bagian bawahnya untuk tenggelam ke dalam bumi.

Kini, analisis baru terhadap gelombang gempa yang merambat di bawah Tibet. Gas-gas yang keluar ke permukaan mengarah pada kemungkinan ketiga semacam kompromi antara dua pendapat sebelumnya. 

Sebagian dari Lempeng India tampaknya mengalami proses “delaminasi” saat bergerak di bawah Lempeng Eurasia, di mana bagian bawah yang padat terlepas dari bagian atasnya. Studi ini juga menemukan adanya retakan vertikal di batas antara bagian lempeng yang terpisah dan bagian yang masih utuh.

“Kita sebelumnya tidak tahu bahwa benua bisa berperilaku seperti ini, dan ini adalah hal yang sangat mendasar dalam ilmu kebumian,” kata Douwe van Hinsbergen, ahli geodinamika dari Universitas Utrecht. 

Temuan ini dipresentasikan pada konferensi American Geophysical Union pada Desember 2023 dan juga telah diunggah dalam bentuk pracetak secara daring. Temuan ini dapat membantu para ilmuwan memahami lebih baik pembentukan Himalaya dan bahkan potensi gempa di wilayah tersebut.

Fabio Capitanio, ahli geodinamika dari Universitas Monash, mengingatkan bahwa masih banyak ketidakpastian terkait proses ini, dan data yang tersedia masih terbatas. “Ini baru sekilas gambaran,” katanya. 

Meski begitu, menurutnya, ini adalah langkah penting dalam memahami bagaimana lanskap bumi modern terbentuk.  “Inilah jenis penelitian yang kita butuhkan untuk terus maju," tuturnya.

Selama ini, para ilmuwan telah lama menduga bahwa lempeng tektonik bisa terbelah seperti ini. Lempeng terdiri dari lapisan kerak yang ringan dan batuan mantel atas yang lebih padat. Ketika ditekan dan menebal, lempeng bisa terbelah di titik antarlapisan yang lemah.

Namun, proses ini sebelumnya hanya diteliti di bagian dalam lempeng benua yang tebal atau melalui simulasi komputer. “Ini adalah pertama kalinya kita menyaksikan proses ini terjadi langsung pada lempeng yang sedang menukik ke bawah,” ujar van Hinsbergen.

Himalaya: Tempat Tersingkapnya Retakan Bumi

Tabrakan benua antara Lempeng India dan Eurasia menciptakan Pegunungan Himalaya. Bukti baru menunjukkan bahwa sebagian Lempeng India mungkin sedang terbelah dan tenggelam ke dalam mantel bumi.

Peter DeCelles, ahli geologi dari Universitas Arizona, menyebut Himalaya sebagai tempat yang menjanjikan untuk menyaksikan lempeng yang sedang terkoyak. 

Sebelum tabrakan dimulai, Lempeng India memiliki ketebalan dan komposisi yang bervariasi, yang dapat menjelaskan bentuk bulan sabit dari deretan Himalaya sepanjang 2.500 kilometer.

Ia membandingkan lempeng kuno ini dengan ikan pari manta: dua “sayap” tipis berupa kerak samudra di sisi kiri dan kanan, serta bagian tengah yang tebal berupa kerak benua. Bagian tipis dari kerak samudra mudah tenggelam ke bawah Lempeng Eurasia, sementara bagian tengah yang tebal menabrak langsung seperti alat pemukul raksasa.

Perbedaan kecepatan dalam proses subduksi ini mungkin telah menyebabkan tarikan dan robekan di berbagai arah pada Lempeng India. Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengusulkan begitu banyak lokasi robekan, sampai-sampai, menurut Simon Klemperer, ahli geofisika dari Universitas Stanford dan penulis studi ini, “hal ini sudah seperti industri rumahan.”

Klemperer tertarik pada zona di timur laut India, dekat Bhutan, tempat zona subduksi melengkung dan menjadi lokasi utama kemungkinan robekan. “Di situlah segalanya jadi rumit,” katanya. 

Kecurigaan itu membuatnya memulai pencarian selama bertahun-tahun untuk mencari bukti kekacauan di bawah permukaan.

Salah satu petunjuk datang dari pengukuran isotop helium yang keluar dari mata air panas di Tibet. Klemperer dan rekan-rekannya, termasuk ilmuwan dari Tiongkok, menempuh jalan tanah dan menyeberangi sungai untuk mengambil sampel dari sekitar 200 mata air alami di sepanjang hampir 1.000 kilometer di Tibet bagian selatan.

Sampel gas yang kaya helium suatu isotop ringan yang terperangkap di dalam bumi sejak awal terbentuk menandakan keberadaan batuan mantel di bawah permukaan. Sementara itu, gas yang miskin helium 3 berasal dari kerak bumi yang terkubur.

Saat mereka memetakan lokasi mata air, muncul pola yang jelas. Di selatan garis tertentu, airnya menunjukkan tanda-tanda berasal dari kerak; di utara garis itu, airnya berasal dari mantel. 

Tim peneliti mengartikan garis tersebut sebagai batas paling jauh dari Lempeng India yang masih utuh dan meluncur di bawah Tibet sebelum akhirnya tenggelam. 

Namun, di satu area di selatan garis itu, dekat perbatasan timur Bhutan, ada tiga mata air yang juga menunjukkan tanda-tanda mantel ini menjadi petunjuk bahwa satu bagian dari Lempeng India mungkin sedang terkelupas, dan batuan mantel panas masuk ke celah yang terbuka di antaranya.

Petunjuk ini diperkuat oleh analisis gelombang gempa yang merambat melalui batas antara kerak dan mantel. Data dari ratusan stasiun seismik memungkinkan peneliti membangun citra struktur bawah tanah. 

Dalam salah satu citra, dua gumpalan terlihat dan menunjukkan kemungkinan bagian bawah lempeng sedang terlepas dari bagian atasnya. Analisis terbaru dari jenis gelombang gempa lainnya juga menunjukkan adanya robekan di tepi barat dari lempeng yang terdelaminasi. Di sebelah barat retakan, bagian bawah Lempeng India tampak masih utuh hingga kedalaman 200 kilometer; namun di sebelah timur, tempat lempeng terbelah dua, batuan mantel tampak mengalir pada kedalaman sekitar 100 kilometer.

Hampir setiap daratan di Bumi terbentuk dari serangkaian tabrakan seperti Himalaya, kata Anne Meltzer, ahli seismologi dari Universitas Lehigh. Jadi, memahami bagaimana benua saling bertabrakan dapat memberi kita wawasan bukan hanya tentang bagaimana lanskap terbentuk, tetapi juga tentang bahaya gempa yang dapat terjadi di sepanjang bekas luka tabrakan tersebut.

Klemperer menambahkan robekan yang baru diusulkan ini juga bisa memengaruhi risiko gempa di Tibet saat ini. Di atas retakan tersebut terdapat patahan dalam yang dikenal sebagai rift Cona-Sangri sebuah petunjuk menarik bahwa kekacauan di bagian bawah Lempeng India bisa menjalar hingga ke permukaan.

Meskipun hubungan langsung dengan gempa masih belum pasti, van Hinsbergen mencatat bahwa proses robek dan terkelupasnya lempeng dapat memengaruhi di mana dan bagaimana tekanan menumpuk, sehingga berpengaruh terhadap potensi gempa.

Menurut Klemperer, benua memang rumit untuk dipelajari karena tabrakan kuno yang membentuk lanskap modern meninggalkan jaringan luka yang saling bertumpuk. Tapi justru itulah yang membuat penelitian ini menarik. “Benua menyimpan sejarah miliaran tahun yang tertulis berlapis-lapis,” katanya. 

Ia dan para ilmuwan lain kini tengah belajar membacanya. (science/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |