Penambahan Kewenangan dalam RUU Kejaksaan Dinilai tidak Efisien

2 hours ago 2
Penambahan Kewenangan dalam RUU Kejaksaan Dinilai tidak Efisien Ilusrasi(MI/Ramdani)

REVISI Undang-Undang Kejaksaan menuai polemik di masyarakat. Penambahan kewenangan jaksa dalam RUU tersebut dinilai membuat alur pengusutan perkara semakin rumit.

"Tidak akan menjadikan alur perkara menjadi efisien. Justru akan sama saja, akan terjadi bolak-balik koordinasi, biaya lebih, dan lain-lain. Tapi sebaliknya, kewenangan Kejaksaan justru akan menjadi tidak terbatas dan tidak bisa diawasi," kata Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi dalam keterangan yang diterima, Jumat (14/3).

Awan menyoroti asas dominus litis terhadap jaksa yang diperkuat melalui RUU tersebut. Menurutnya, asas itu menuntut pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan.

Menurutnya, proses hukum dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan, yang secara konsep terpisah satu sama lain oleh instansi tertentu, sehingga sistem menciptakan kontrol satu sama lain. 

"Bila paradigmanya kejaksaan yang melakukan prosesnya dari awal hingga akhir di penuntutan, hal ini menyalahi prinsip proses hukum yang fair," ujarnya. 

Untuk itu, Awan menegaskan adanya sejumlah pasal bermasalah di dalam RUU Kejaksaan. Misalnya, kewenangan penegakan hukum yang seharusnya ada di polisi dalam proses penyidikan dan jaksa di Penuntutan. Namun, kata dia, dalam revisi UU kejaksaan ini jaksa akan menjadi pengamanan kebijakan penegakan hukum (Pasal Pasal 30 ayat 3B) dan adanya Kewenangan baru adalah membentuk Badan pemulihan aset (pasal 30A). 

"Seharusnya kewenangan kejaksaan hanya berkutat di Penuntutan, tidak lebih," ujarnya. 

Tak hanya Pasal 30A, poin keseluruhan dalam mata beleid itu dipersoalkan. Sebab, menjadikan lembaga kejaksaan sangat powerful.

"Ditambah lagi hak imunitas yang diberikan kepada jaksa menyalahi dan tidak sesuai dengan prinsip equality before the law," kata Awan. (P-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |