Pemerintah Harus Punya Strategi Jangka Panjang Dalam Sektor Pendidikan

7 hours ago 3
Pemerintah Harus Punya Strategi Jangka Panjang Dalam Sektor Pendidikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim.(Dok. Antara)

DALAM rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengapresiasi kebijakan pemerintah di sektor pendidikan. Namun demikian, dia meminta pemerintah untuk memikirkan strategi jangka panjang dalam hal pendidikan.

“Kami berharap ada strategi yang sifatnya long term. Mengacu kepada Astacita Pak Prabowo menuliskan secara eksplisit bahwa pemerintah akan menetapkan upah standar upah minimum bagi guru-guru non ASN. Saya pikir ini langkah yang sangat tepat jika direalisasikan segera sebagai solusi bagi guru-guru non ASN,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (1/5).

“Karena kita tahu kesejahteraan guru-guru non ASN ini jauh dibawah kawan-kawan buruh. Kawan-kawan buruh itu kan punya standar upah minimum ya misalnya DKI itu Rp5,6 juta, daerah lain ada yang Rp3 juta, Rp2 juta. Kalau guru-guru honorer itu tidak ada standar upah minimum sehingga upahnya itu terserah kepala sekolah saja,” lanjut Satriwan.

Selama ini para guru honorer hanya mendapatkan upah Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan. Dengan adanya penetapan standar upah minimum bagi guru non ASN seperti guru honorer akan meningkatkan harkat martabat dan kesejahteraan para guru.

Kebijakan seperti ini yang dinantikan daripada isu yang mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan cash transfer sebesar Rp300 ribu pada Hardiknas tahun ini.

“Ini kan rasa-rasanya seperti BLT (bantuan langsung tunai) ya. Jadi guru-guru honorer diberikan transfer Rp300 ribu seperti halnya pemberian BLT. Kami pikir itu sifatnya short term,” ujarnya.

Selain itu, Satriwan menyoroti terkait dengan belum adanya political will dari pemerintah dan DPR untuk membahas RUU Sisidiknas yang sebetulnya sudah masuk Prolegnas.

“Kami belum melihat DPR RI membuka ruang-ruang dialog dengan semua stakeholder pendidikan dan guru sampai hari ini. Kami pun belum membaca naskah akademik ataupun draft rancangan undang-undangnya untuk kita sama-sama uji, untuk kita sama-sama kritik dan memberikan masukan-masukan. Karena kabarnya RUU Sisdiknas ini akan direvisi dengan formula kodifikasi ya kan. Jadi RUU Sisdiknas itu akan mengkodifikasi empat undang-undang sekaligus yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Perguruan Tinggi, dan UU Pesantren,” tegas Satriwan.

Sekolah Rakyat

Sama halnya dengan Sekolah Rakyat yang sampai detik ini pihaknya belum dapat mengakses naskah akademik terkait Sekolah Rakyat

“Hal yang kita baca itu baru pernyataan-pernyataan yang sifatnya itu parsial dari masing-masing kementerian. Misalnya alasannya adalah untuk memberikan akses pendidikan bagi anak-anak yang kategori miskin dan sangat miskin atau desil 1 dan desil 2 istilahnya. Nah anggarannya juga cukup besar dan fantastis Rp100 miliar untuk 1 sekolah. Rencananya akan membangun 1 tahun ini targetnya 100 sekolah kabarnya begitu kan,” jelas Satriwan.

Untuk itu, menurutnya Sekolah Rakyat sejauh ini lemah secara akademis karena belum ada naskah akademis yang dapat diakses sehingga secara pedagogis, sosiologis, ekonomi, dan historis Sekolah Rakyat belum teruji.

“Ada pun Sekolah Rakyat di zaman kolonial adalah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi pribumi atau bumiputera. Waktu itu Inlanders  yang tidak dapat mengakses sekolah Belanda yang berkualitas,” tuturnya.

Sekolah Rakyat yang cukup mengambil porsi anggaran yang besar juga dikatakan bertentangan dengan efisiensi dari pemerintahan.

Selain itu, perbedaan antara Sekolah Rakyat yang dikelola oleh Kemensos, sekolah umum yang dikelola oleh Kemendikdasmen, dan Sekolah Unggul Garuda yang dikelola oleh Kemdiktisaintek juga berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yang mengatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

“Kalau seperti ini pengelolaan pendidikan kita, pendidikan dasar menengah khususnya gitu. Ini kan berpotensi membuat tumpang tindih. Misalnya Sekolah Rakyat, bagaimana rekrutmen gurunya, bagaimana rekrutmen siswanya. Lagi pula yang berpengalaman melakukan rekrutmen guru, kurikulum, murid, sekolah dasar menengah itu Kemendikdasmen bukan Kemensos. Harusnya ya kalau ini pengelolaannya berdasarkan Undang-Undang tadi, saya rasa ini mestinya dikelola oleh Kemendikdasmen gitu kan, bukan Kemensos. Karena Kemensos juga belum punya reputasi untuk mengelola sekolah, apalagi sekolah berasrama,” ucap Satriwan. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |