Pembelajaran Mendalam untuk Guru

6 hours ago 2
Pembelajaran Mendalam untuk Guru (Dok. Pribadi)

DALAM sebuah seminar tentang pembelajaran mendalam (PM), seorang guru bertanya, “Bagaimana saya tahu kalau saya sudah mengajar sesuai prinsip PM dengan benar?” Pertanyaan ini memicu refleksi: siapa yang seharusnya menentukan ‘kebenaran’ dalam mengajar—atasan, rekan sejawat, atau siswa? Dan mengapa kita menggunakan tolok ukur benar atau salah, bukan efektif atau tidak?

Sejak 1970-an, guru Indonesia memang telah mengenal berbagai pendekatan seperti CBSA, PAKEM, PAIKEM, dan CTL. Namun, menurut Kemendikdasmen, implementasi berbagai pendekatan itu masih terkendala. Mengapa? Mungkin pertanyaan guru tadi memberi kita petunjuk: kita terlalu sibuk mencari ’cara yang benar’ daripada memikirkan apakah cara itu efektif bagi siswa.

ORIENTASI TUJUAN DAN KUALITAS PEMBELAJARAN

Mungkin persoalannya bukan terletak pada pendekatannya, melainkan pada tujuan yang ingin dicapai guru saat menerapkan pendekatan tersebut dalam proses pembelajaran. Banyak guru terbiasa mengejar ‘kebenaran prosedural’ demi menghindari teguran, tapi justru abai dengan efektivitas pembelajaran (ability-avoidance orientation).

Sebaliknya, guru yang berfokus pada pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif cenderung mencoba pendekatan baru di kelas dan memperhatikan respons siswa mereka, mencerminkan orientasi pada penguasaan (mastery orientation). Butler (2007, 2012) menekankan bahwa orientasi ini memengaruhi kualitas pembelajaran dan keberlanjutan perubahan. Bisa jadi, ketika guru menerapkan pendekatan yang ditetapkan pemerintah, motivasinya hanya untuk menghindari teguran dari kepala sekolah atau pengawas. Ada pula guru yang mengajar sekadar memenuhi kewajiban agar tak diberi beban tambahan.

Ada pula sebagian guru yang merasa puas jika siswa berhasil mencapai tujuan belajar. Bahkan ada guru yang ingin merasakan peningkatan kepakaran seiring waktu. Menurut Butler (2007, 2012), guru dengan orientasi kepakaran akan lebih reflektif dan konsisten dalam mengembangkan praktiknya jika dibandingkan dengan guru yang hanya berusaha memenuhi kriteria ‘kebenaran’ demi menghindari sanksi.

Kembali lagi pada pertanyaan guru di awal tulisan ini. Jika yang dicari ialah ‘cara yang benar’, mungkin orientasi menghindari penguasaan lebih dominan. Dalam hal ini, guru cenderung mencari pembenaran dari model atau strategi tertentu secara statis, dan merasa cukup jika kriteria formal sudah terpenuhi. Sebaliknya, jika yang digunakan ialah tolok ukur efektivitas, sangat mungkin orientasinya ialah penguasaan (ability-approach orientation) atau kepakaran (mastery). Guru dengan orientasi ini berusaha memahami prinsip PM secara dinamis dan menerapkannya untuk merespons kebutuhan siswa secara efektif. Prosesnya menjadi eksploratif dan berkelanjutan.

Tentu saja, orientasi ini tidak selalu tunggal—seorang guru bisa memiliki orientasi berbeda seiring waktu. Namun, bagaimana guru dapat memiliki orientasi mendekati penguasaan dan kepakaran sebagai orientasi tujuan yang dominan?

PENGEMBANGAN KAPASITAS BERBASIS GURU SEBAGAI PENELITI

Dalam konteks mendorong guru untuk melakukan proses belajar mengajar berbasis PM, beberapa hal berikut mungkin perlu menjadi perhatian dalam persiapan dan pengembangan profesional guru: apakah guru pernah diajak untuk melihat penerapan berbagai pendekatan dari sudut pandang efektivitas dalam mencapai tujuan pembelajaran? Apakah guru pernah didampingi dalam proses uji coba pembelajaran berbasis pendekatan yang baru? Apakah guru menjadi mitra dari perubahan atau sekadar objek untuk diperbaiki dan ditingkatkan? Pernahkah guru ditanya, apa tujuan dan manfaat dari mengubah praktik mengajar mereka di lapangan dengan berbasis pendekatan tertentu?

Jika semua pertanyaan tersebut belum dijawab melalui program yang ada, mungkin sudah saatnya kita meninjau ulang orientasi dan tujuan program itu sendiri. Karena itu, konsep guru sebagai peneliti menjadi relevan dan dapat menjadi dasar untuk program persiapan serta peningkatan kapasitas guru. Berdasarkan konsep ini, posisi guru bukanlah sebagai pelaksana yang melakukan skenario mengajar PM dengan benar. Namun, mereka senantiasa berupaya merumuskan respons pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa dengan berbasis prinsip PM secara dinamis dan fleksibel.

Seperti koki yang mampu menyesuaikan resep dengan selera pelanggan, guru juga perlu memahami konten, strategi, dan karakter siswa. Jika koki perlu memiliki bekal teknik memasak yang mumpuni serta pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi, maka guru sebagai peneliti perlu memiliki pengetahuan yang baik mengenai konten pembelajaran serta beragam strategi dan model pengajaran. Ibarat koki dengan pemahaman yang baik mengenai selera pelanggan agar makanan mereka layak dikonsumsi dan lezat, para guru juga perlu mengetahui siapa siswa mereka dan bagaimana mereka belajar. Dengan begitu, guru dapat merancang pembelajaran yang efektif secara bermakna, berkesadaran, dan menyenangkan.

Fokus guru peneliti tidak lagi mencari metode dan strategi yang ‘benar’, tetapi bagaimana ia dapat merumuskan respons pedagogis yang efektif. Sebagai langkah awal dalam peningkatan kapasitas, guru perlu menguasai perangkat konseptual yang beragam. Perangkat konseptual ini dapat diibaratkan seperti kacamata. Contohnya, konsep berkesadaran (mindfulness) dapat dilihat sebagai keterampilan dan metode untuk mengatur perhatian (Zeilhofer & Sasao, 2022).

Berdasarkan konsep ini, guru dapat merancang strategi yang melatih siswa untuk terampil mengelola perhatian mereka secara bertahap di kelas. Dengan perangkat konseptual tersebut, guru bisa melihat dinamika di kelas dari berbagai sudut pandang.

Selanjutnya, guru akan dibekali kemampuan untuk memetakan kebutuhan siswa. Bersama fasilitator, mereka merumuskan kerangka dan tujuan PM berdasarkan hasil pemetaan tersebut, yang berpijak pada capaian yang ditetapkan dalam kurikulum. Lalu, guru didampingi untuk merumuskan metode dan strategi yang sesuai, serta merancang proses asesmen formatif dan sumatif yang dapat memberikan umpan balik secara terukur dan tepat waktu. Akhirnya, guru diajak melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses tersebut.

Jika proses di atas dilakukan seperti sebuah siklus, guru akan terdorong untuk terus memiliki rasa ingin tahu. Layaknya peneliti, rasa ingin tahu ini yang mendorong mereka untuk terus mengeksplorasi metode dan strategi yang paling sesuai dengan konten pelajaran dan kebutuhan siswa yang beragam.

Oleh karena itu, orientasi tujuan (ability-approach) dan penguasaan (mastery) adalah keniscayaan bagi guru sebagai peneliti. Ketika prinsip PM dijalankan oleh guru yang memiliki orientasi tujuan ini, maka proses belajar mengajar menjadi dinamis dan responsif terhadap kondisi nyata. Guru sebagai peneliti juga akan menikmati proses eksplorasi tersebut. Akhirnya, bukan hanya siswa yang belajar secara mendalam, guru pun ikut tumbuh dalam prosesnya.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |