
ISRAEL kembali melakukan serangkaian serangan baru di Gaza dengan klaim menghancurkan Hamas dan membebaskan sandera. Dilansir dari CNN, sedikitnya 262 orang telah terbunuh dan 675 lainnya terluka setelah Israel meningkatkan serangan intens sejak Kamis (15/5), menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan, dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat (16/5) waktu setempat, mereka telah meluncurkan serangan ekstensif dan memobilisasi pasukan untuk merebut daerah-daerah strategis di Jalur Gaza.
"Sebagai bagian dari gerakan pembukaan Operasi 'Kereta Perang Gideon' dan perluasan kampanye di Gaza, untuk mencapai semua tujuan perang di Gaza, termasuk pembebasan para sandera dan kekalahan Hamas," tulis keterangan itu dikutip dari CNN.
Perlu diketahui, pada Kamis (15/5) Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan bahwa jumlah orang yang terbunuh oleh serangan Israel di Gaza setelah serangan 7 Oktober 2023 kini melebihi 53 ribu orang, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Direktur Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, Gaza utara, Munir Al-Sultan memberikan kesaksian pada hari Jumat (16/5) bahwa ada "ledakan yang sangat kuat" di sekitar rumah sakit. Akibat ledakan itu, memutuskan koneksi ke ventilator yang diperlukan beberapa pasien mereka untuk tetap hidup.
Tanah bergetar
Di sisi lain, seorang warga yang mengungsi di lingkungan Sheikh Radwan, Raed Radwan mengatakan kepada CNN bahwa ia dapat merasakan tanah bergetar sejak fajar karena ledakan di daerah kantong tersebut.
"Banyak orang yang tidak dapat melarikan diri kemarin karena intensitas penembakan sekarang sedang dalam perjalanan," katanya.
"Setelah pengumuman operasi militer yang baru, harga-harga makanan meroket. Barang apa pun yang masih ada di pasar atau yang dijual di jalanan menjadi sangat mahal," kata Radwan seraya menambahkan bahwa ada pergerakan yang "signifikan" dari Gaza utara ke selatan dengan biaya transportasi yang melonjak drastis.
Situasi tersebut, terjadi berbarengan dengan Presiden AS Donald Trump mengakhiri kunjungannya ke Timur Tengah. Akan tetapi, ia tidak mendapatkan kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Perbedaan besar
Serangan baru Israel ini terjadi di tengah-tengah apa yang tampaknya merupakan perbedaan yang semakin besar antara pemerintah AS dan Israel. Trump mengatakan pekan lalu bahwa ia ingin mengakhiri "perang brutal" di Gaza dan ia tidak mengunjungi Israel selama lawatannya ke Timur Tengah.
Dia juga melewati Israel dua kali bulan ini dalam mencapai kesepakatan bilateral dengan kelompok-kelompok militan regional. Seperti Hamas yang membebaskan seorang sandera Israel-Amerika minggu lalu, dan Houthi yang setuju untuk berhenti menembaki kapal-kapal Amerika di Laut Merah dan berjanji untuk terus memerangi Israel.
Trump mengatakan bahwa ia ingin AS mengambil Gaza dan mengubahnya menjadi zona kebebasan. "Saya memiliki konsep untuk Gaza yang menurut saya sangat bagus, jadikanlah zona kebebasan, biarkan Amerika Serikat terlibat dan jadikanlah zona kebebasan," kata Trump di Qatar.
Saat berada di Teluk, Trump juga mengakui bahwa banyak orang yang kelaparan di Gaza dan mengatakan bahwa AS akan menangani situasi di Gaza.
"Kami terus memantau situasi Gaza. Dan kami akan menanganinya. Banyak orang yang kelaparan," kata Trump kepada para wartawan di Abu Dhabi.
Seruan Arab
Di lain tempat, tepatnya di Irak pada hari Sabtu (17/5), para pemimpin Arab berkumpul untuk sebuah pertemuan membahas beberapa masalah regional yang mendesak, termasuk perang di Gaza. Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Presiden Mesir Abdel Fattah Al Sisi dan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Irak Mohammed Syiah al-Sudani.
Dalam sebuah pernyataan bersama, para pemimpin menyerukan gencatan senjata segera di daerah kantong tersebut dan mendesak masyarakat internasional untuk ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Gaza.
Mereka menegaskan kembali posisi mereka tentang migrasi paksa, dengan mengatakan bahwa segala bentuk pemindahan atau pengusiran merupakan "pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan hukum humaniter internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis."
Kondisi mengerikan
Seiring dengan situasi warga sipil Palestina yang semakin mengerikan, badan-badan PBB menyerukan agar ada tindakan segera.
Sekitar 436 ribu orang diperkirakan telah mengungsi secara paksa sejak Maret, menurut sebuah laporan dari badan PBB untuk pengungsi Palestina. Selama hampir 11 minggu, Israel telah memberlakukan pengepungan total terhadap Gaza, menolak masuknya makanan, pasokan medis, dan bantuan lainnya kepada lebih dari 2 juta warga Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.
Israel mengatakan bahwa blokade tersebut, bersama dengan perluasan pemboman militernya terhadap Gaza, dimaksudkan untuk menekan Hamas agar membebaskan para sandera yang ditahan. Tetapi organisasi-organisasi internasional mengatakan bahwa hal itu melanggar hukum internasional, dan banyak yang menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Sikap PBB
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres mengatakan bahwa kondisi warga Gaza saat ini sangat sulit digambarkan. Ia menyebutkan, apa yang terjadi saat ini di Gaza sangat mengerikan dan tidak manusiawi.
Oleh karena itu di tengah serangan-serangan baru, Guterres pun mendesak Israel gara segera membuka blokade terhadap bantuan kemanusiaan yang akan menuju Gaza. Hal itu diperlukan untuk, setidaknya, mengurangi apa yang dirasakan oleh warga Gaza
"Kebijakan pengepungan dan kelaparan merupakan sebuah ejekan terhadap hukum internasional. Blokade terhadap bantuan kemanusiaan harus segera diakhiri. Ini adalah momen untuk kejelasan moral dan tindakan," kata Guterres dikutip dari CNN. (Ndf/I-1)