
NARASI empatik diyakini menjadi kunci keberhasilan gerakan sosial dan lingkungan. Hal ini terungkap dalam kegiatan ‘Cerita untuk Cipta: Dari Narasi Menjadi Aksi’ yang diselenggarakan Purpose Indonesia pada Selasa (3/6) di Jakarta. Acara ini menghadirkan berbagai sesi talkshow dan diskusi panel bertema komunikasi publik dan strategi digital, pameran, dan pertunjukan seni yang menunjukkan inisiatif Purpose bersama para kolaborator selama lima tahun terakhir untuk mendorong aksi komunitas dan pembangunan narasi sebagai alat perubahan.
Melalui keterangannya, Yanuar Nugroho, pendiri dan penasihat Nlar Institute dan Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) mengungkapkan saat ini pendekatan populisme cenderung menjadi cara penyelesaian masalah publik. “Ini membuat persoalan kompleks disederhanakan menjadi sentimental dan emosional,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini menimbulkan kondisi disonansi kognitif atau tekanan psikologis ketika sejumlah informasi tidak konsisten satu sama lain. “Narasi empatik dapat mengatasi situasi ini. Komunikasi yang efektif harus menyentuh sisi emosional, bukan hanya rasional,” kata Yanuar yang juga menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta serta Visiting Senior Fellow, ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura dan University of Manchester, Inggris.
Ekosistem Informasi Publik Tak Seimbang
Evi Mariani selaku Pemimpin Umum Project Multatuli menyebutkan ada situasi yang tidak seimbang dalam ekosistem informasi publik. “Ada banjir informasi namun di lain sisi ada kekeringan dari isu-isu yang diabaikan dan suara-suara yang tidak didengar,” kata Evi.
Dirinya menjelaskan isu lingkungan menjadi isu yang berisiko tinggi untuk disuarakan karena terkait dengan kepentingan-kepentingan oligarki politik yang didukung oleh pendengung yang membanjiri ekosistem informasi.
“Ini jadi tantangan bagi jurnalis, social campaigner, dan content creator untuk menyuarakan suara yang diabaikan dan isu-isu yang tidak didengar,” jelasnya.
Ia menyatakan perlunya memetakan siapa saja yang bisa berkolaborasi secara strategis. “Kekuatan masyarakat sipil adalah kekuatan-kekuatan kecil yang bertaut dan bekerja sama,” jelasnya.
Michelle Winowatan selaku Impact Strategy and Partnership Lead Purpose menjelaskan gerakan sosial rentan terhadap disinformasi dan kebisingan dari buzzer yang mengaburkan informasi. “Perlu ada komunikator yang kredibel dan terpercaya di berbagai isu,” ujarnya. Ia menjelaskan survei terbaru yang dilakukan oleh Purpose menunjukkan masyarakat muslim Indonesia paling percaya kepada pemuka agama soal isu lingkungan.
“Kepercayaan dan kredibilitas akan berpotensi berlanjut ke aksi yang lebih besar karena kepercayaan dinilai lebih berharga dari kebenaran,” ungkapnya. Ia juga menekankan pendekatan hyperlocal yang lebih efektif untuk demografi Indonesia.
“Pesan utama menyesuaikan dengan masyarakat yang beragam karena sebetulnya mereka punya pengetahuan dan kapabilitas namun terhambat secara struktural,” jelasnya.
Efektif dengan Komunitas Kecil
Aktor dan aktivis lingkungan Nicholas Saputra mengungkapkan secara alami kampanye yang berfokus pada satu isu akan lebih mudah dilakukan. “Memang sulit untuk membuat satu isu spesifik bisa relevan dengan jutaan orang tapi bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah karena itu isu yang betul-betul kita ketahui,” jelasnya.
Ia menerangkan pola-pola kampanye seperti ini akan menjadi semacam bentuk antitesis dari dominasi algoritma media sosial. “Namun tetap saja ada godaan untuk di-like oleh dua juta orang,” ujarnya.
Indonesia Country Director Purpose, Longgena Ginting menyatakan dampak yang paling bermakna dari gerakan sosial adalah dampak yang dibangun bersama lewat pendekatan berbasis cerita, komunikasi, dan aksi komunitas. “Gerakan sosial adalah nadi perubahan sistemik, dan komunikasi yang dibangun secara strategis adalah senjatanya,” jelas Longgena.
Dirinya menjelaskan kekuatan narasi menjadi landasan Purpose untuk membangun komunikasi strategis dengan semangat movement generosity yakni semangat berbagi pengalaman, strategi, bahkan kegagalan untuk memperkuat gerakan secara kolektif. “Meski cara-caranya berganti namun esensi komunikasi tetap relevan dalam gerakan,” paparnya. (H-2)