
KECAMATAN Sumbermalang kerap disebut sebagai salah satu kecamatan terpencil di Jawa Timur. Hingga sedekade lalu, masyarakatnya yang juga sudah menanam kopi belum mereguk manisnya cuan dari komoditas itu.
Hal itu terjadi karena kopi belum menjadi tanaman utama, tetapi lebih banyak sebagai tanaman pembatas untuk tanaman lain. Penjualannya pun masih ala kadarnya tanpa proses pascapanen yang baik.
Namun, semuanya berubah mulai 2016 dengan pendirian Koperasi Agropuro Walida Sejahtera. Lewat koperasi itu, Argopuro Walida yang sebenarnya berfokus pada proses pengolahan kopi arabika yang berasal dari Argopuro mengedukasi para petani kopi, khususnya di wilayah Agropuro di Sumbermalang, untuk memperbaiki cara produksi kopi agar harga jual lebih baik.
"Secara teknik produksi di lahan, produktivitas di lahan, juga banyak berkembang. Kami juga melakukan edukasi ke petani. Misalnya cara pemupukan, pruning, yang berpengaruh besar ke produktivitas kopi. Kami arahkan ke petani untuk menjaga kopi nereka agar tetap muda. Secara sistem pemasaran, sekarang juga lebih banyak dilakukan secara daring, yang dulunya luring," jelas Ahmad Muhlisin, pendiri Argopuro Waldia, kepada Media Indonesia di World of Coffee Jakarta 2025, Kamis (15/5).
Hasilnya bukan saja produktivitas yang meningkat, melainkan juga taraf hidup masyarakat. Muhlisin pun mengaku roda ekonomi yayasan pendidikan Walida ikut terimbas. Dari sebelumnya menunggak membayar gaji guru hingga enam bulan, sejak itu sudah rutin menggaji tiap bulan.
"Sejak 2016 sampai saat ini, peningkatan taraf ekonominya sangat terlihat di level petani dan pengolah kopi. Bahkan, dari kopi juga bisa untuk membiayai enam lembaga termasuk untuk membayar gaji 45 guru," terangnya.
Tidak hanya itu, pergi ke Tanah Suci sudah bukan lagi impian mustahil bagi banyak warga. "Dulu mungkin jarang orang bisa umrah, tapi sekarang tiap tahun petani kopi berbondong-bondong umrah. Dari situ tentu saja sudah terlihat peningkatan taraf ekonominya. Sebelum ada usaha kopi, dulu juga bayar guru di yayasan pendidikan kami itu kadang empat bulan sekali, bisa enam bulan sekali, sekarang sudah bisa bayar tiap bulan rutin," tambahnya.
Agropuro Walida kini punya 500 petani binaan dan kebun yang dikelola sendiri seluas 35 hektare. Perusahaan itu kemudian mulai ekspor kopi arabika sejak 2020 dengan sistem direct trading. Dengan berkapasitas produksi 150 ton, 60%-nya diserap ekspor.
"Kami ekspor ke Eropa, ada Slovakia, Republik Ceko, dan Polandia. Ada juga ke Timur Tengah seperti Dubai, Arab Saudi, Qatar, dan Turki. Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia juga menjadi tujuan ekspor kami. Jadi, kami memang memiliki rekanan yang bisa melakukan pengiriman ekspor," terang Muhlisin.
Harga kopi arabika yang diproses Argopuro Walida berkisar Rp148 ribu-Rp185 ribu per kilogram. Sementara untuk harga internasional, Muhlisin mematok harga mulai US$10 per kilogram.
Permintaan besar di dalam dan luar negeri
Besarnya pasar kopi Indonesia di luar negeri juga dikatakan Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (AKSI-SCAI). Namun, tidak hanya itu, di dalam negeri pun produksi belum memenuhi demand.
"Terkait growth market, sebenarnya di Indonesia sendiri untuk pasar dalam negeri kita masih kurang secara supply-nya. Permintaan ekspor kita juga terus meningkat, terutama untuk Amerika Serikat, sebagai negara pengimpor kopi terbesar dari Indonesia," ujar Yani Elok Pratiwi dari bagian hubungan masyarakat AKSI-SCAI kepada Media Indonesia saat ditemui di gelaran World of Coffee Jakarta 2025 di Jakarta International Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis.
Naiknya kopi, dari peringkat kedelapan ke peringkat keempat komoditas ekspor Indonesia, menurutnya, membuktikan potensi ekonomi yang besar. Meski begitu, ia mengakui penjualan kopi spesialti masih minim. Dari data yang dirilis Kementerian Pertanian pun, saat ini komoditas masih didominasi robusta, sementara kopi spesialti atau arabika masih kurang dari 5%.
Harga naik hingga 3 kali
Royal Pacific Indah International, atau juga dikenal dengan Royal Pacific Harvest, yang mengekspor biji kopi Indonesia sejak 2003, mengungkapkan harga kopi terus naik.
"Sumatra menjadi produsen terbesar karena memang secara lahan memungkinkan. Dari tiga tahun lalu, secara harga memang bisa naik dua sampai tiga kali lipat. Market-nya juga lebih luas sekarang. Di dunia diminati. Untuk saat ini, memang Amerika menjadi negara nomor satu yang dituju," terang Denny Hondokusumo dari bagian marketing Royal Pacific Harvest, saat dijumpai Media Indonesia di World of Coffee Jakarta 2025, Kamis.
Dengan berbasis di Medan, Sumatra Utara, perusahaan tersebut sejauh ini paling banyak mengekspor biji kopi arabika dari Sumatra. Biji kopi arabika mencapai 90% ekspor mereka, sisanya arabika. Soal asal kopi, yang paling diminati ialah kopi lintong
Tantangan terbesar
Meski peningkatan terjadi di berbagai lini industri kopi, Elok menilai saat ini kopi belum bisa menjadi komoditas andalan dan tulang punggung ekonomi Indonesia. Tantangan terbesar untuk produktivitas ialah lahan.
"Lahannya tidak sebesar kelapa sawit. Waktu panen kopi juga cukup lama, butuh lima tahunan baru dapat panen yang maksimal. Mungkin saat ini memang pemerintah juga sedang berusaha. Kami dari asosiasi pun juga sedang berusaha, tapi kita butuh banyak sekali kolaborasi dari berbagai pihak, tidak bisa jalan sendiri," papar Elok.
"Jadi, sebenarnya isu utamanya itu adalah lahan. Ketika misalnya lahannya bisa lebih banyak, artinya secara produktivitas juga bisa digenjot dan angka ekonominya bisa lebih besar," pungkasnya. (M-1)