
DI tengah dinamika abad ke-21 yang menuntut perubahan mendasar dalam dunia pendidikan, peran guru tidak lagi sebatas pengajar, tetapi meluas menjadi agen perubahan yang reflektif, kritis, dan inovatif.
Guru peneliti merupakan sosok pendidik yang menjadikan rasa ingin tahu (curiosity) dan refleksi sebagai landasan dalam memahami, mengevaluasi, dan mengembangkan praktik pembelajaran (Dewey, 1933; Zurn & Bassett, 2022; Barell, 2003; Inan, 2012).
Melalui keterlibatan aktif dalam riset, guru tidak hanya memperdalam pemahaman terhadap proses belajar-mengajar, tetapi juga membangun budaya berpikir kritis dan kontekstual yang mendukung terwujudnya deep learning. Deep learning sendiri menekankan proses pembelajaran yang tidak dangkal atau menghafal semata, melainkan pemahaman yang bermakna, reflektif, dan terhubung dengan konteks kehidupan nyata.
Dalam hal ini, guru peneliti memainkan peran sentral sebagai perancang dan fasilitator pembelajaran yang berakar pada pengalaman autentik peserta didik serta berlandaskan pemikiran ilmiah dan analitis (Alexakos, 2015; Kincheloe, 2004; Lankshear & Knoble, 2004).
Riset memberi guru kekuatan untuk menjadi knowledge worker, yakni produsen pengetahuan yang mampu menciptakan pengalaman belajar mendalam yang mendorong transformasi diri dan sosial (Iqbal, Jalal & Mahmood, 2018; Ralexakos, 2015).
Kompetensi ini sejalan dengan tuntutan abad ke-21, yang menekankan berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, kolaborasi, literasi teknologi, dan kemandirian belajar—semua elemen penting dalam pendekatan deep learning
(Tomczyk & Fedeli, 2022; Samosa, 2021; Tan, Liu & Low, 2017; Barkatsas & Bertram, 2016). Dengan demikian, memaknai guru sebagai peneliti adalah langkah strategis dalam menciptakan sistem pendidikan yang mendalam, relevan, dan berdaya ubah.
GURU PENELITI: SIAPA DAN APA YANG DIPERLUKAN?
Guru peneliti adalah pendidik yang secara mandiri atau kolaboratif melakukan riset untuk meningkatkan kompetensi profesional, baik secara pribadi (kepuasan, martabat, panggilan hati) maupun dalam efektivitas pengajaran (Lankshear & Knoble, 2004).
Mereka tidak hanya menjalankan tugas, tetapi juga merefleksikan praktiknya secara kritis, terbuka pada perspektif baru, serta memahami bahwa pendidikan tak lepas dari konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik (Kincheloe, 2003). Riset menjadi sarana bagi guru untuk memahami dampak pengajaran, serta kaitannya dengan pembelajaran dan kehidupan nyata (Pesti et al., 2018).
Untuk menjadi guru peneliti sejati dibutuhkan dua hal utama. Pertama, sikap mental, yaitu rasa ingin tahu (kuriositas), reflektif, dan kritis. Kuriositas mendorong guru untuk terus belajar, memahami realitas, melihat ketidakadilan, dan mengembangkan diri secara intelektual dan spiritual (Dewey, 1933; Inan, 2012; Zurn & Bassett, 2022; Barell, 2003). Dengan kesadaran kritis, guru mampu membaca sistem pendidikan dalam konteks sosial yang lebih luas (Kincheloe, 2003).
Kedua, literasi riset, mencakup kemampuan merancang riset, menganalisis literatur secara kritis, serta menerapkan temuan dalam praktik. Ini terdiri dari dua dimensi, yaitu kemampuan menetapkan fokus, mengevaluasi, dan menerapkan hasil riset; Kedua, kesadaran akan pentingnya riset dalam meningkatkan kualitas mengajar dan peran guru sebagai agen perubahan (Bassham et al., 2023; Kacaniku, 2020; Ogden, 2019; Kostoulas, 2018).
Guru peneliti disebut extended professional karena memiliki lima karakteristik: komitmen merefleksikan praktik, menguji teori, terbuka pada observasi, dan berdiskusi secara jujur tentang praktiknya (Kincheloe, 2003; Stenhouse, 1975), serta budaya kerja demokratis yang mendukung peran guru peneliti. Prinsipnya meliputi: kemandirian profesional (self-direction), kelas sebagai ruang belajar, variasi pendekatan, kolaborasi antarguru, kontribusi terhadap kesejahteraan sosial, dan penerapan aturan yang adil, fleksibel, dan menghargai proses (Holmes, 2005; Kincheloe, 2003).
BUDAYA RISET DAN TRANSFORMASI PERAN GURU
Budaya riset merupakan kumpulan nilai, norma, makna, dan perilaku yang membentuk dan memengaruhi pelaksanaan kegiatan riset (Samosa, 2021). Budaya ini menjadi sumber energi bagi jaringan aktivitas seperti pelatihan, layanan, dan inovasi yang melekat pada konteks sosial. Inti dari budaya riset ialah tanggung jawab akademik yang terwujud dalam interaksi riset yang bermakna (Criado-Dávila et al., 2020).
Guru perlu "tercelup' dalam budaya riset, artinya terlibat secara aktif dan reflektif dalam kegiatan riset berbasis pengalaman. Melalui keterlibatan ini, guru memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang persoalan pendidikan, serta menyadari bagaimana mereka dapat berkontribusi secara nyata melalui riset (Kincheloe, 2003).
Budaya riset membuka akses guru terhadap pengetahuan dari luar dan mendorong lahirnya kesadaran kritis terhadap praktik pendidikan.
Dengan membiasakan diri dalam budaya riset, guru akan menjadi pembelajar aktif yang kritis, reflektif, dan terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka tidak hanya menjalankan instruksi, tetapi juga menggali makna pengalaman, mengkaji praktik profesional, serta memahami kompleksitas pendidikan dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan psikologis. Guru berperan sebagai knowledge worker yang terus memperbarui pemahaman dan kebutuhan profesinya.
Melalui riset, mereka dapat mengevaluasi kekuatan ide, menganalisis proses belajar di kelas, serta membangun budaya berpikir kritis. Budaya riset menjadikan guru sebagai produsen pengetahuan, bukan sekadar penerima informasi. Selain itu, budaya riset memperkuat peran guru sebagai produsen pengetahuan dan sumber inspirasi bagi peserta didik. Guru membantu menjadikan sekolah sebagai ruang akademik yang relevan dengan kehidupan nyata (Kincheloe, 2003).
Sebagai penutup, berdasarkan uraian sebelumnya, pendidikan guru perlu mengalami transformasi mendasar dengan menempatkan guru sebagai sosok otonom dan profesional sejajar dengan profesi seperti dokter atau insinyur. Guru harus dipandang sebagai produsen dan pekerja pengetahuan, bukan sekadar pelaksana kebijakan birokrasi atau teknisi administrasi. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan pemberdayaan yang sistematis melalui peningkatan literasi riset dan keterampilan melakukan riset berbasis bidang keilmuannya.
Transformasi ini juga sejalan dengan pendekatan deep learning, yang menekankan pemahaman mendalam, berpikir kritis, reflektif, dan integratif dalam proses belajar. Ketika guru menjadi peneliti dan pembelajar sejati, mereka akan mampu menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan berorientasi pada pemahaman esensial, bukan sekadar hafalan.
Dengan demikian, pengembangan budaya riset dan literasi kritis di kalangan guru bukan hanya meningkatkan kualitas profesi, tetapi juga menumbuhkan ekosistem pembelajaran yang mendorong lahirnya pembelajar mandiri, kreatif, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Wallahu ‘alam bishshawaab.