
DI puncak tebing curam Santorini, berdiri industri pariwisata yang memikat wisatawan dari seluruh dunia dan menghasilkan jutaan dolar setiap tahunnya. Namun di bawah permukaan yang memesona itu, tersembunyi potensi ledakan dahsyat dari gunung api bawah laut yang kini mulai diteliti secara serius oleh para ilmuwan.
Pulau cantik di Yunani ini terbentuk dari letusan vulkanik besar ribuan tahun lalu, menyisakan kaldera luas dan tebing setengah lingkaran yang kini menjadi ikon wisata. Tapi, seiring waktu, ancaman letusan baru perlahan mengintai.
Tim ilmuwan internasional yang dipimpin Prof. Isobel Yeo dari National Oceanography Centre Inggris tengah melakukan ekspedisi di kapal riset RRS Discovery untuk menyelidiki aktivitas bawah laut di sekitar Santorini. Penelitian ini menjadi penting setelah serangkaian gempa yang melanda pulau tersebut menyebabkan hampir separuh dari 11.000 penduduknya mengungsi beberapa minggu sebelumnya.
"Di bawah keindahan desa-desa putih, restoran gyros, jacuzzi Airbnb, dan kebun anggur subur, dua lempeng tektonik terus bergesekan," ujar Prof. Yeo. Dia adalah pakar gunung api bawah laut yang selama ini jarang mendapat perhatian, meski dua pertiga dari gunung api di dunia berada di bawah laut.
Tim menggunakan robot bawah laut seukuran mobil untuk mengumpulkan data, termasuk cairan panas, gas, dan batuan dari ventilasi hidrotermal di dasar laut. Sistem ventilasi ini sangat penting karena menjadi indikator aktivitas magmatik di dalam perut bumi.
"Letusan gunung api bawah laut bisa sangat besar dan menghancurkan," jelas Isobel. "Kita sering merasa aman hanya karena terbiasa dengan letusan kecil—padahal bisa saja letusan berikutnya jauh lebih dahsyat."
Sebagai perbandingan, letusan Hunga Tonga di Samudera Pasifik tahun 2022 menjadi letusan bawah laut terbesar yang pernah tercatat. Bahkan menyebabkan tsunami yang terasa hingga ke Inggris.
Penelitian ini juga melibatkan pemetaan sistem hidrotermal dan hubungan antara ventilasi bawah laut dengan dapur magma yang memicu letusan. Dengan menggunakan teknologi elektromagnetik dan pemetaan 3D, para ilmuwan mencoba memahami bagaimana cairan panas bergerak melalui batuan dan memicu aktivitas seismik kecil.
“Ini bukan sekadar sains untuk ilmuwan, tetapi sains untuk masyarakat,” kata Prof. Paraskevi Nomikou, ahli geologi dari Santorini yang tergabung dalam badan tanggap darurat pemerintah. Ia menegaskan bahwa hasil penelitian ini akan membantu otoritas setempat dalam menyusun peta risiko dan menentukan zona larangan saat terjadi letusan.
Meski gunung api Santorini dan Kolombo—gunung api besar lainnya sekitar 7 km timur laut pulau—tidak diprediksi akan meletus dalam waktu dekat, para ilmuwan yakin itu hanyalah soal waktu.
Di sisi lain, masyarakat lokal masih merasakan dampak dari ketidakpastian ini. Eva Rendl, seorang fotografer pernikahan yang tinggal di Santorini, mengaku terpaksa mengungsi bersama anaknya ketika gempa bertubi-tubi terjadi awal tahun ini. Kini ia kembali, tetapi banyak klien membatalkan pemesanan.
Di pusat kota Oia, wisatawan asal Inggris-Kanada bernama Janet mengatakan, enam dari sepuluh orang dalam rombongannya membatalkan liburan mereka karena khawatir. Ia merasa informasi ilmiah yang akurat sangat membantu dirinya merasa lebih aman.
Namun di balik kekhawatiran itu, Santorini tetaplah destinasi impian. Di Imerovigli, sepasang pengantin baru dari Latvia terlihat memanjat atap melengkung khas Santorini demi foto pernikahan yang sempurna.
“Kami memang ingin menikah di dekat gunung api,” ujar Tom, sambil menggandeng tangan istrinya, Kristina. (BBC/Z-2)