Masa Jabatan Ketum Partai Seperti Raja, UU Parpol Digugat ke MK

2 hours ago 3
Masa Jabatan Ketum Partai Seperti Raja, UU Parpol Digugat ke MK Ilustrasi.(Antara)

DOSEN Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Edward Thomas Lamury Hadjon menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
 
Edward mengatakan sebagai perseorangan warga negara sekaligus pengajar hukum tata negara, Ia mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada mahasiswanya terkait kedudukan partai politik dalam hukum tata negara di Indonesia. 

Menurut Edward, hal tersebut disebabkan karena ketiadaan batas jabatan pimpinan partai politik dan alasan diberikannya kewenangan recall kepada parpol (hak recall). 

“Pembatasan masa jabatan pimpinan partai sebagai mekanisme kontrol dan juga bertujuan membangun mekanisme check and balances,” katanya dalam pembacaan Perkara Nomor 22/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK pada Selasa (22/4). 

Pasal 23 ayat (1) UU Parpol menyatakan bahwa “Pergantian kepegurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.” 

Sementara itu, padal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menyatakan, “Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: … d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
 
Kuasa hukum pemohon. Putu Surya Permana Putra mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 pada pokoknya menyatakan perlu adanya pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat. 

“Adanya limitasi ini demi kepastian hukum dengan logikan yang sama seharusnya limitasi ini juga diperlukan untuk pimpinan parpol,” jelas Putu.  
 
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol) bertentangan dengan UUD 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai. 

“Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART dengan syarat untuk pimpinan partai politik memegang jabatan selama 5 (lima)tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam masa jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut,” ujarnya. 

Selain itu, Edward juga menekankan agar hakim meyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d, UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai. 

“Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian diputuskan oleh rakyat melalui pemilihan kembali.”

Ia juga menegaskan bahwa frasa dari “pemilihan kembali” yang ada dalam pasal 239 ayat 2 huruf d, UU MD3 seharusnya merujuk pada pemilihan umum yang diselenggarakan di daerah pemilihan.

“Ditentukan oleh dapil masing-masing anggota DPR terpilih) yang diusulkan berhenti oleh partai politik melalui mekanisme pemilihan surat suara dengan pilihan yang tersedia ya atau tidak,” tukasnya. 

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta agar Pemohon memperkuat argumentasi dengan melihat praktik kepemimpinan parpol di negara-negara demokrasi lainnya. 

“Apakah hanya bisa memimpin parpol dua kali. Kalau bisa diberikan studi komparatifnya,” terangnya.
 
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Anwar Usman meminta agar Pemohon menelusuri kembali persoalan terkait masa jabatan pimpinan parpol yang pernah diajkukan ke MK. 

“Pasal pengujian yang diajukan pernah diajukan pada permohonan sebelumnya. Silakan elaborasi lebih lanjut terkait Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian,” jelasnya.
 
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan pemohon harus memastikan berbagai putusan MK terdahulu mengenai UU tersebut. Ia juga mengingatkan jika setiap PAW (pergantian antar-waktu) harus dilakukan pemilu, maka sistem penyelenggaraan pemilu akan jauh lebih rumit dijalankan. 

“Serta petitum dikatakan setiap ada PAW (pergantian antar-waktu) harus ada pemilu, bisa dibayangkan aka nada berapa pemilu dan bagaimana mekanisme serta sistem penyelenggaraannya,” jelas Enny. (Dev/P-3) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |