KPU dan DPR Satu Pandangan Soal Desain Waktu Pemilu dan Pilkada

4 hours ago 4
KPU dan DPR Satu Pandangan Soal Desain Waktu Pemilu dan Pilkada Ilustrasi(Dok.MI)

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan keserentakan dua kontestasi antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) harus dipertimbangkan. Menurutnya, harus ada jeda waktu antartahapan pemilu dan pilkada di masa mendatang agar tidak membebani penyelenggara.

“Kalau bisa ada jeda waktu, karena kemarin itu beririsan banget. Belum selesai tahapan pemilu, pilpres, pileg, kita sudah bersiap pilkada,” ujar Afif dalam keterangannya pada Kamis (1/5).

Menurut Afif, penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dilaksanakan secara serentak menjadi momen pemilihan umum paling rumit dalam sejarah Indonesia, bahkan pada tingkat global, sebab penyelenggaraan serentak pilpres, pileg dan pilkada dalam tahun yang sama belum pernah terjadi sebelumnya.

“Pemilu paling rumit ini di Indonesia. Apalagi di tahun 2024, pemilunya kemarin itu dilaksanakan di tahun yang sama. Belum pernah sebelumnya,” jelas Afif.

Afifuddin menilai, keserentakan tersebut sangat mudah menyebabkan tumpang tindih tahapan yang pada akhirnya menimbulkan tantangan besar, khususnya bagi penyelenggara di tingkat pusat hingga daerah. 

Hal itu lanjut Afif, membuat KPU harus menjalankan beban ganda tanpa jeda yang cukup. Untuk itu, dia menekankan pentingnya evaluasi sistemik terhadap desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan.

“Kadang orang bertanya, KPU tugasnya apa setelah ini? Padahal tahapan pemilu itu minimal 22 bulan. Kalau lima tahun, tinggal tiga tahun untuk persiapan berikutnya,” ungkapnya.

Kendati demikian, Afif menekankan bahwa KPU sebagai lembaga pelaksana pemilu tidak memiliki kewenangan untuk mengubah desain kepemiluan, melainkan hanya menjalankan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang sebagai produk hukum legislatif. 

“KPU ini pelaksana saja. Kalau undang-undangnya lebih cepat, kita bisa rumuskan lebih baik. Tapi kalau dibahas belakangan, ya kita menyesuaikan,” tukasnya.

Lebih jauh, Afif berharap agar penyelenggaraan pemilu ke depan bisa lebih ideal dan kolaboratif, terutama dalam menghadapi berbagai dinamika lokal dan persoalan teknis di lapangan, khususnya mengenai perbedaan signifikan antara UU Pemilu dan UU Pilkada.

“Pemilu kita ini berat, maka tidak bisa seakan-akan semua tugas itu hanya KPU atau Bawaslu. Harus bareng-bareng,” tandasnya. 

Terpisah, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyepakati usulan agar penyelenggaraan pemilu dan pilkada dilakukan pada tahun yang berbeda dengan jarak maksimal 2 tahun.

“Terkait dengan tahapan, saya sepakat. Bahwa tahapan pemilu kita, pileg, pilkada, pilpres itu minimal jedanya setahun. Minimal. Jadi nanti kalau 2029, ya minimal pilkadanya 2030. Tahun 2031 juga tidak apa-apa,” katanya.

Dia mengungkapkan keserentakan pemilu terbukti tak memudahkan pemilih dan merepotkan penyelenggara pemilu. Diharapkan jika pemilu dan pilkada agar digelar di tahun berbeda, dapat memberikan jeda sekaligus alasan agar penyelenggara di provinsi, kabupaten, kota bekerja lebih baik.

“Keinginan untuk menjadikan pilkada untuk tidak langsung juga karena itu, kita juga harus bersiap apapun yang akan terjadi ke depan. Kita harus memiliki skenario dalam konteks keaktivisan,” ujarnya. (Dev/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |