
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan konflik Timur Tengah Iran vs Israel berpotensi memicu guncangan besar terhadap pasar energi global. Terlebih, saat ini, konflik tersebut sudah melibatkan Amerika Serikat.
"Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, punya potensi memicu guncangan besar pada pasar energi global," ujar Yusuf di Jakarta, Senin.
Menurut dia, ancaman terbesar dari konflik ini terhadap ekonomi Indonesia berasal dari potensi lonjakan harga minyak dunia. Indonesia sekarang bukan lagi eksportir minyak bersih, sehingga setiap kenaikan harga minyak mentah secara langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan.
Dampak lanjutan yang paling cepat terasa adalah pada nilai tukar (kurs) rupiah. Ketika harga minyak naik dan ketidakpastian global meningkat, investor cenderung menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Itu kemudian dialihkan ke berbagai aset safe haven seperti dolar Amerika Serikat (AS) atau emas. Hal ini berakibat pada pelemahan kurs rupiah.
"Kita sudah melihat pola ini berulang kali dalam krisis global sebelumnya, ketegangan geopolitik langsung memicu volatilitas pasar mata uang," ungkap Yusuf.
Pelemahan rupiah kemudian dianggap akan membawa implikasi fiskal yang cukup serius, terutama terhadap beban subsidi pemerintah. Saat harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) otomatis melonjak.
Padahal, apabila pemerintah mempertahankan harga BBM bersubsidi tetap seperti pertalite dan solar, selisih antara harga pasar dan harga jual harus ditanggung oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dalam bentuk tambahan subsidi energi.
"Artinya, ruang fiskal menjadi semakin sempit, dan ini bisa mengganggu prioritas anggaran lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan," tandasnya. (E-3)