Komnas Perempuan Minta Transparansi Penanganan Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita

23 hours ago 6
Komnas Perempuan Minta Transparansi Penanganan Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita Penyidik Detasemen Polisi Militer Pangkalan TNI Angkatan Laut (Denpomal) Banjarmasin menyaksikan tersangka, oknum TNI AL Kelasi Satu Jumran (baju oranye) memperagakan adegan pembunuhan jurnalis saat rekonstruksi 33 adegan.(ANTARA)

Komnas Perempuan mendorong penanganan kasus pembunuhan jurnalis Juwita secara transparan dan akuntabel. Hal itu untuk mengungkap kejelasan pada publik penyebab kematian, termasuk ada atau tidaknya kasus pembunuhannya terkait dengan berita dan aktivitas yang dilakukannya sebagai jurnalis.

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan upaya tersebut sebagai bagian dari pemenuhan hak korban dan keluarganya yaitu hak atas kebenaran.

“Komnas Perempuan juga mendorong pentingnya pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban dalam proses hukum yang tengah berjalan. Perhatian serius aparatur penegak hukum seperti restitusi dan pemulihan untuk keluarga korban,” katanya dalam pernyataan yang diterima Media Indonesia, Minggu (6/4).

Komnas Perempuan mencatat bahwa proses hukum pada pelaku yang merupakan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) Kelasi I Jumran (J) tengah dilakukan oleh peradilan militer. Dalam hal ini, kata Maria, penting menerapkan fair trial, independensi dan imparsialitas peradilan, khususnya dalam mengadili kasus sipil.

Di sisi lain, peradilan militer juga penting mempertimbangkan keadilan kepada korban dan keluarganya, serta memberikan langkah-langkah perlindungan pada keluarga dan saksi-saksi guna pengungkapan kebenaran dan keadilan.

Di tengah desakan reformasi peradilan militer, Komnas Perempuan mengingatkan adanya ketentuan hukum yang jelas terkait pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh anggota militer aktif tunduk pada kekuasaan peradilan umum.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, serta Pasal 3 ayat 5 TAP MPR Nomor VII/MPR /2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal yang berakhir dengan kematian dapat dihentikan.

“Secara hukum, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian, maka penting adanya pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin, termasuk mengenali motif dan modus kekerasan berbasis gender yang menyertainya,” papar Maria.

“Faktor tersebut penting untuk dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan pemberatan hukuman, khususnya dalam menerapkan pasal-pasal KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban,” imbuhnya.

Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan untuk korban dalam mengidentifikasi femisida juga sangat diperlukan. Tujuannya agar mereka mampu membangun deteksi terhadap tingkat bahaya pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Kapasitas ini dibutuhkan agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan bentuk kekerasan, ancaman, dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual,” pungkasnya. (H-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |