
KETUA Komisi Kejaksaan (Komjak) Pujiyono Suwadi berpendapat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini dibahas di DPR belum betul-betul mengarah pada perubahan sistem. Ia mengingatkan, KUHAP yang berlaku saat ini merupakan produk sejak 1981 warisan Belanda.
"Saya baca, baik draf (RKUHAP) dari DPR ataupun DIM dari pemerintah, yang sudah saya baca, saya belum melihat ada gagasan yang betul-betul 100% KUHAP baru kita ini adalah mengarah pada perubahan sistem," katanya di Jakarta, Jumat (2/5).
Hal itu disampaikan Puji dalam diskusi bertajuk Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abus of Power yang digelar Ikatan Wartawan Hukum. Menurutnya, KUHAP merupakan ruh dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mengingat Indonesia sudah memiliki KUHP terbaru yang akan berlaku pada 2026, ia menyebut seharusnya RKUHAP dapat sejalan dengan aturan baru tersebut. Menurutnya, KUHP menekankan pada paradigma pemidanaan yang korektif, rehabilitatif, dan restoratif dari yang sebelumnya retributif.
Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa RKUHAP harus mengarah pada due process of law atau proses hukum yang adil. Hal itu dapat terejawantah lewat proses hukum yang dapat ditantang dalam setiap tahapannya.
"Yang kedua, adalah adanya jaminan perlindungan, baik itu kepada korban, saksi bahkan kepada terduga tersangka, terdakwa dan seterusnya ada perlindungan di situ," jelas Puji.
Baginya, RKUHAP yang dibahas saat ini baru sekadar menjawab persoalan-persoalan hukum di lapangan, tapi tidak mendasar. Salah satunya adalah masalah relasi antara penyidik dan penuntut umum yang kerap berujung pada bolak-balik berkas perkara karena dianggap belum lengkap. (Tri/P-3)