Komisi XII DPR Minta Kementerian Lingkungan Hidup Perjelas Manfaat Nilai Ekonomi Karbon bagi Daerah

2 weeks ago 13
Komisi XII DPR Minta Kementerian Lingkungan Hidup Perjelas Manfaat Nilai Ekonomi Karbon bagi Daerah Ilustrasi: Sejumlah wisatawan menggunakan perahu melintasi perairan yang dikelilingi pohon mangrove di Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk(ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)

PERDAGANGAN karbon di Indonesia semakin mendapat perhatian, terutama terkait manfaat konkret yang bisa dirasakan oleh daerah, khususnya yang memiliki hutan sebagai penyerap emisi. Namun, masih banyak pertanyaan dari berbagai pihak mengenai bagaimana mekanisme pembagian manfaat tersebut dan bagaimana daerah bisa memperoleh keuntungan dari skema nilai ekonomi karbon (NEK).  

Anggota Komisi XII DPR RI Mukhtarudin menyoroti ketidakjelasan manfaat yang diterima oleh daerah. Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, masih ada kebingungan mengenai realisasi dana karbon bagi daerah, salah satunya Jambi yang disebut-sebut mendapatkan 70 juta dolar AS. 

“Kami di daerah pernah ikut rapat zaman KLHK. Sampai saat ini kami bertanya-tanya betul konkretnya apa bagi daerah? Terutama penghasil karbon. Salah satunya Jambi 70 juta dolar. Nah, sampai saat ini seperti apa realisasinya? Kalau diterima di pusat, apakah daerah ini dapat menerima manfaat daripada karbon? Bagaimana cara hitungnya? Kami gak ngerti mengukur atau mengetahui berapa volumenya. Apakah berdasarkan luasan hutan atau apa dan apa kewajiban daerah dalam menjaga hutan?” katanya dalam rapat Komisi XII dengan Kemeterian Lingkungan Hidup, Selasa (25/2). 

Hal senada disampaikan oleh Anggota Komisi XII DPR RI Syarif Fasha yang menyoroti regulasi terkait peran pelaku usaha dalam skema NEK. Ia menyebutkan bahwa ada aturan yang mengharuskan perusahaan pertambangan atau perkebunan menyiapkan lahan hutan sebagai kompensasi karbon mereka. Jika tidak, mereka dapat memberikan kompensasi dalam bentuk lain. Namun, mekanisme perhitungan dan pembayaran masih menjadi pertanyaan.  

“Kadis kabupaten/kota menghadapi masalah adanya peraturan yang mensyaratkan pelaku usaha, misalnya di sektor pertambangan, menyiapkan hutan untuk sumber karbon mereka. Apabila tidak bisa, mereka bisa ada kompensasi. Bagaimana cara menghitung? Bayarnya seperti apa? Apakah sudah ada daerah yang sudah dapat kompensasi pembayaran karbon?” ujarnya. 

Ia juga menekankan perlunya koordinasi yang lebih jelas di tingkat daerah. “Saran kami, segera kumpulkan semua kepala dinas kabupaten/kota dan provinsi sebagai koordinator untuk mengorganisir perdagangan karbon ini karena mereka yang lebih paham. Karena kami pikir, kalau berharap dengan APBN, nonsense, kecil kemungkinan. Apakah ada benar-benar uangnya atau cuma tulisan aja?” tambahnya.  

Menanggapi hal ini, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup Ary Sudijanto menjelaskan bahwa manfaat dari perdagangan karbon memang telah dialokasikan untuk daerah, namun belum semuanya bisa langsung digunakan. Ia menegaskan bahwa daerah memiliki porsi tersendiri dari pendapatan karbon.

“Benefit bagi daerah, mereka punya porsi sendiri. Misalnya Jambi 70 juta dolar. Itu sebenarnya sudah ditransfer pengadaan melalui Bappeda, akan dibagi ke komponen-komponen yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Ini apa yang disebut dengan REDD+, jadi upaya apresiasi yang diberikan bisa menahan laju deforestasi. Kita bisa memelihara hutan, apresiasi negara atau lembaga internasional. Bentuk taman nasional, kawasan konservasi yang tidak dibebani izin, maka bentuknya adalah RBC. Tapi kalau kawasan hutan produksi, karena di dalamnya ada entitas pemegang izin pemanfaatan hutan, kemungkinan pemegang izin itu bisa klaim karena upaya mereka bisa mereduksi. Jambi nanti RBP paling banyak. Itu sudah ada, termasuk yang nasional itu setiap provinsi yang ikut sudah ada,” paparnya.  

Namun, Ary juga menegaskan bahwa masih ada tantangan dalam pengawasan, terutama untuk memastikan bahwa skema ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan target Nationally Determined Contributions (NDC). Ia menekankan pentingnya pengawasan agar tidak terjadi double counting atau klaim ganda dalam perdagangan karbon.  

“Butuh pengawasan ketat. Pengawasan yang dilakukan bagaimana kita bisa memastikan target NDC yang menjadi tujuan utama melakukan ini dapat dilaksanakan. Surplus pencapaian NDC yang dilakukan harapannya masuk ke dalam pasar atau perdagangan karbon. Pengawasan itu yang perlu dilakukan. Kalau ini sudah menjadi sertifikat penjualan karbon, perlu memastikan bahwa yang kemudian diperdagangkan tidak double counting, tidak diklaim oleh lebih dari satu pihak,” jelasnya.  (Ata/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |