
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup (KLH) dibuat geram dengan ulah pengusaha yang mendirikan usaha di lokasi yang seharusnya menjadi serapan air di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Hal itu mengakibatkan banjir bandang menimpa wilayah Cisarua dan Megamendung hingga mengakibatkan korban jiwa.
Tidak hanya itu, hilangnya kawasan serapan air di hulu juga mengakibatkan wilayah hilir seperti Bekasi dan Jakarta dilanda banjir.
"Sekarang di hulu, di Citeko (Puncak) sudah ada yang meninggal. Ini sudah cukup buat saya, buat kita bersikap bahwa kegiatan ini (pembangunan-tempat tempat wisata) cukup berkontribusi menimbulkan bahaya yang cukup besar. Banjir di Bogor (hulu), Bekasi, dan Jakarta," ujar Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq terkait tindakan tegas lanjutan dari penyegelan, kemarin.
"Pak Menko (Zulkifli Hasan) menugaskan kepada saya untuk melakukan tindakan tegas. Kata Pak Menko, selesaikan," lanjutnya.
Dia menyebut akan ada dua jenis sanksi ada, yakni pidana dan perdata. Perdata terkait kerugian yang harus dibayar. Pidana karena sudah menyebabkan kematian dan kerugian yang nilai ekonominya cukup besar.
"Jadi indikasi pidananya sudah ada. Kami akan menuntut dua hal itu terkait dengan semua tenant yang disita oleh Pak Menko dan Pak Gubernur, "tegasnya.
Pertama dari pidananya, karena berdasarkan kajian pihaknya, ke-33 titik atau lokasi, termasuk 4 tempat wisata yang sudah disegel, telah berkontribusi menyebabkan banjir dengan kerugian yang cukup besar material dan satu korban jiwa.
"Pemerintah pusat tidak boleh diam, kita harus mengambil langkah-langkah serius. Dan ini kejadian sudah berulang-ulang. Artinya alam telah mengkalibrasi bahwa kalau kita berbuat seperti ini, terus bencana di hulu di hilir cukup besar," bebernya.
Dia menyebut, akibat bencana banjir dan longsor di hulu dan hilir yang terjadi pada 2 Maret dan 3 Maret 2025, kerugian ditaksir mencapai ratusan miliar atau bahkan sampai triliun rupiah. Hal itu belum ditambah duka yang menyelimuti keluarga dari para korban jiwa dalam peristiwa banjir.
"Satu jiwa pun itu enggak oleh melayang karena kelalaian kita," tegasnya.
"Kita hitung, kita minta mereka bayari salah satunya. Kemudian pidana dan pemulihannya. Jadi itu rangkaiannya akan panjang," jelasnya.
Kendati demikian, menurutnya, pembongkaran tidak serta merta dapat dilakukan. Perlu tahapan dan proses untuk bisa membongkar tempat usaha yang melanggar aturan.
"Bicara hukum tidak bisa sembarangan. Dalam jangka waktu jarak pendek semua disegel, tutup. Tutupnya tunggu nanti ya, tim penyidik. Ini baru pengawas, tahapan nanti penyidik," terangnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, pada tahapan pengawasan telah jelas para pengusaha itu telah melanggar administrasi sehingga menimbulkan sanksi administrasi. Bilamana bukti pelanggaran cukup untuk menyeret para pengusaha yang melanggar ke pengadilan pidana, penyidikan akan diselesaikan.
"Jadi itu tahapannya, kita tidak boleh memotong hukum. Apabila niat baik kita tidak direncanakan dengan konstruksi yang benar, nanti akan balik ke kita," katanya.
Dia pun meminta media untuk turut serta mengawal dan mengawasi. Atas arahan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan yang saat itu ikut menyegel, KLH akan melakukan analisis detail terkait penggunaan lahanya.
Pihaknya akan mengevaluasi detail terkati dari total 15.000 hektare, sebanyak 8.000 hektarenya berubah menjadi kawasan pertanian pada tahun 2022. Sejak saat itu, maka maraklah bangunan-bangunan beton nan megah.
"Kita akan koreksi detail, kita akan panggil, kita akan cek semua, tata ruangnya harus kita koreksi habis. Daerah yang 15.000 hektare itu, seluas 7.000 hektarenya merupakan lahan kritis," pungkasnya.
Namun penyelesaian persoalan ini, lanjutnya, tidak bisa dibebankan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat saja, karena dalih lokasi Puncak ada di Jawa Barat. Tetapi penikmatnya itu ada di Jakarta.
"Jadi itu sudah ada dalam PP No 46 Tahun 2007 Tentang Ekonomi Lingkungan. Jadi ini kita akan panjang. Tapi seperti kata Pak Menko, kita tidak boleh capai dan tidak boleh bosan, karena di bawah sana ada 11,4 juta penduduk Jakarta".
"Gara-gara landskap ini tidak kita amankan, korbannya akan besar. Kemudian ini jadi konsen kita," tegasnya.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto telah memberikan perhatian terhadap permasalahan banjir Jabodetabek dan alih fungsi lahan di kawasan Puncak. Presiden berkali-kali menyampaikan tidak ada yang kebal hukum. Tidak pandang bulu, baik itu pangkat dan jabatannya. Dia mencontohkan kasus seperi di mega proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido.
"Di sini, semua samakan saja kita proses hukum. Jangan lagi disebut-sebut pangkat. Jadi pak Presiden sudah bilang begitu. Sudahlah kalau Pak Presiden sudah (mengatakan) selesai, ya selesai," pungkasnya.
Menko Zulkifli Hasan atau akrab disapa Zulhas pun menjawab soal dugaan keterlibatan aparat.
"Ya ini urusan kita, urusan rakyat. Jadi mau siapa pun, di mata presiden dan hukum sama," imbuhnya.
Dia mengatakan, wilayah hulu ini akan ditata ulang, termasuk di dalamnya soal kawasan taman nasional, kawasan konservasi, kawasan lindung, dan perkebunan.
"Wisata edukasi, wisata alam, oke saja. Tapi kalau sudah wisata komersial, membangun di hulunya, tentu bertentangan dengan undang-undang,"katanya.
Zulhas pun menanggapi soal banyaknya izin yang lolos dan akhirnya para pengembang dengan bebasnya membangun di area yang jelas-jelas terlarang.
"Ya itulah yang harus kita pikirkan. Kalau enggak lolos kan kita enggak tertibkan. Karena ada, ini kita tertibkan," pungkas Zulhas.
Di kesempatan yang sama, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan langkah-langkah yang akan dilakukannya.
"Yang pertama kita akan mencabut izin PT itu," tegasnya.
Kemudian, lanjutnya, akan dilakukan pengembalian atau pemulihan alam Jawa Barat seperti kondisi semula sesuai dengan aspek-aspek penata ruangan yang memadai.
"Kita kembalikan pada alam yang memberikan keselamatan bagi warga. Bukan hanya warga Jabar, melainka juga warga DK Jakarta," ungkapnya.
Dengan itu, Dedi menyebut akan segera berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta. Menurutnya, Jawa Barat itu palang pintunya DKI dan paling utamanya warga yang tinggal di Jakarta.
"Warga Jakarta jangan lagi bangun bangun vila dan sejenisnya di Puncak kalau tidak mau banjir. Kalau kemudian sekarang airnya ke Jakarta, ya karena mereka cari tempat untuk tidur di Puncak," imbuh Dedi.
"Nanti saya juga minta untuk Gubernur DKI sama-sama bertemu. Mari kita bicara, karena ini tidak hanya menyangkut aspek lingkungan, tetapi menyangkut ekonomi warga," pungkasnya. (E-4)